Sebagai anak muda yang hidup di tengah banjir informasi seperti saat ini, pertanyaan bagaimana cara memilah dan memilih informasi sangat penting. Anak muda saat ini mutlak dibekali dengan alat bedah yang memadai sebelum larut dalam lautan informasi di media sosial. Alat bedah itu bernama dekonstruksi.
Menyederhanakan Dekonstruksi sebagai Cara Berpikir
Dekonstruksi adalah cara berpikir kritis yang tidak langsung menelan mentah-mentah sebuah teks, informasi, atau pernyataan. Dekonstruksi sebagai alat untuk membongkar cara sebuah “kebenaran” dibentuk. Tetapi, perlu diingat dekonstruksi bukan metode membongkar makna supaya jadi kacau, tetapi cara membaca yang kritis agar tidak terjebak kebenaran semu.
Jika kalian sedang berselancar dengan jari kalian di media sosial, pernahkah sesekali menanyakan hal berikut:
- Bagaimana narasi konten ini dibentuk?
- Apa yang dikatakan dan apa yang disembunyikan?
- Siapa yang diuntungkan oleh narasi ini?
- Adakah kemungkinan makna lainnya?
Dekonstruksi mengingatkan pada kita bahwa makna (pengertian/pemahaman) tidak pernah tunggal. Tidak ada teks, konten, atau klaim yang bisa berdiri sendiri sebagai “kebenaran final.” Semua tergantung pada konteks, pembaca, bahasa, dan relasi kuasa di baliknya.
Mari kita bermain dengan contoh sederhana, tetapi serius. Bayangkan di suatu pagi anda membuka media sosial dengan menonton video yang mencengangkan: “Inilah Konspirasi Elit Global yang Harus Diwaspadai”. Atau mungkin sedikit lebih emosional : “Tak Terduga Konspirasi yang Melemahkan Agama Kita Terbongkar”.
Istilah-istilah yang digunakan sangat bombastis “membongkar”, “menyingkap”, dan “mencerahkan”. Seolah sedang membuka akal sehat, padahal sejatinya sedang ingin membungkus, menjebak dan mengatur pemikiran bebas kita.
Setelah satu klik, algoritma mulai membanjiri timeline kalian dengan konten-konten serupa. Perlahan, gelembung itu membesar dan menyekat. Kalian mulai percaya bahwa hanya dia yang tahu kebenaran, sementara semua orang lain “tertipu.” Kalian merasa paling tercerahkan.
Pendekatan dekonstruksi, sederhananya, kita tidak langsung percaya atau mencela. Kita diajak untuk bertanya:
- Siapa yang memproduksi narasi ini?
- Apa motifnya? Siapa yang diuntungkan?
- Mengapa saya terus melihat hal yang sama?
- Informasi apa yang tidak muncul di timeline saya?
Dekonstruksi mengajak kita untuk mengembalikan kendali berpikir kepada pengguna, bukan pada algoritma. Konten hanya informasi yang tidak netral yang harus diperlakukan secara obyektif, bukan standar kebenaran. Satu konten hanya mewakili satu perspektif yang tidak utuh yang membutuhkan pembanding dengan ragam konten yang lain.
Pada bagian ini saya ingin mengajak anak muda yang berada dalam habitus media sosial-oriented untuk sesekali berpikir secara kritis. Jangan hanya menonton dan mengkonsumsi, tetapi penting mempertanyakan kenapa saya harus menonton ini, apa pentingnya bagi saya, dari mana konten ini dibentuk, adakah pandangan lain dengan tema serupa, adakah hal lain yang disembunyikan dari timeline-saya dan pertanyaan penasaran lainnya.
Intinya, kritis sederhananya adalah penasaran dengan hal berbeda.
Bersambung