Pada intinya, ketiadaan roadmap yang jelas pasca revolusi menjadikan gejolak Arab Spring hanya seperti euforia awal tanpa kendali. Pemerintahan transisi juga gagal dalam mengendalikan situasi sehingga tidak mempunyai legitimasi yang kuat dalam mengelola pemerintahan.
Solusi Strategis: Mengelola Gerakan Gen Z untuk Perubahan yang Konstruktif
Berdasarkan pembelajaran dari Arab Spring dan karakteristik unik gerakan Asia Spring, beberapa strategi dapat dikembangkan untuk mengelola gerakan Gen Z agar menghasilkan perubahan yang konstruktif:
- Membangun Saluran Institusi Anak Muda yang Inklusif
Pemerintah dan civil society perlu menciptakan saluran institusional yang memungkinkan aspirasi generasi muda disalurkan secara konstruktif. Ini termasuk pembentukan youth parliaments, citizen assemblies, dan mekanisme poling yang memberikan ruang bagi partisipasi politik anak muda lebih bermakna.
Generasi muda bukan sekedar dijadikan budak electoral, tetapi diajak sejak awal untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan dengan cara mendidik mereka dalam saluran politik yang baik.
- Pendikan Politik (Civic Literacy) yang Baik
Sistem pendidikan harus direformasi untuk mengintegrasikan civic education yang komprehensif, mengajarkan tidak hanya hak-hak demokratis tetapi juga kewajiban dan kompleksitas dari pemerintahan demokratis. Program ini harus mencakup literasi politik, media literasi, dan resolusi konflik.
Tidak hanya ruang pendidikan, partai politik harus berbenah diri dengan cara memberikan ruang bagi generasi muda untuk terlibat dalam kursus politik, pelatihan kader dan pendidikan kewarganegaraan. Sehingga hasilnya, partai politik juga tidak hanya hadir musiman dalam ajang lima tahunan mengeksploitasi suara Gen Z, tetapi sejak awal merawat mereka sebagai basis kaderisasi politik.
- Strategi Pengembangan Ekonomi Gen Z
Sebenarnya, dalam struktur dan desain kementerian di Indonesia perlu dikoreksi. Kementerian Pemuda yang sangat strategis dalam mengelola Gen Z dengan segala kompleksitasnya dibingkai dengan hanya unsur olahraga, misalnya Kemenpora.
Kementerian Pemuda harusnya berdiri sendiri dengan bingkai Kementerian Pemuda dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Kompleksitas generasi muda tidak hanya persoalan olahraga, tetapi yang terpenting adalah pengembangan dan pembangunan kapasitas anak muda agar dapat meraih akses ekonomi yang memadai.
Kesenjangan ekonomi dan kesulitan akses terhadap modal ekonomi memicu frustasi sosial anak muda di berbagai negara. Bukan hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi negara harus mengembangkan dan memfasilitasi dukungan pengembangan kapasitas anak muda dalam bidang ekonomi.
Pembelajaran dari Arab Spring menunjukkan bahwa revolusi tanpa kesiapan institusi dan kapasitas sumber daya yang kuat dapat berujung pada instabilitas yang berkepanjangan. Oleh karena itu, mengelola gerakan Gen Z memerlukan pendekatan yang cerdas yang mampu mengakomodasi aspirasi demokratis mereka sambil menjaga stabilitas dan kontinuitas.
Kunci sukses terletak pada kemampuan sistem politik saat ini untuk beradaptasi dengan perubahan demografi dan transformasi teknologi. Hal ini tentu saja menuntut kepemimpinan politik yang tidak hanya visioner, tetapi memahami DNA Gen Z. Asia Spring bukan hanya tentang protes dan revolusi, tetapi tentang transformasi fundamental dalam cara masyarakat mengorganisir diri mereka dalam era digital.
Masa depan demokrasi Asia, mau tidak mau, harus dikatakan terletak pada Gen Z. Karena itulah masa depan pemerintahan demokratis adalah pemerintahan yang mampu mengintegrasikan dan mengadaptasikan aspirasi Gen Z dalam sistem, salura dan legitimasi politik. Gelombang Asia Spring harus dipandang bukan sebagai ancaman terhadap stabilitas, tetapi tantangan dan peluang memperbaharui demokrasi (democratic renewal).












