Persaudaraan bukan perasaan semata, tetapi komitmen solidaritas, saling tolong-menolong, dan kerjasama dengan tujuan menjaga keutuhan dan kerukunan umat; dimulai dari keluarga, yang mana setiap anggotanya diwajibkan untuk saling menolong dalam hal warisan, wasiat, dan nafkah; kemudian kerabat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah,” [QS. al-Anfal: 75]; kemudian para tetangga. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,” [QS. al-Nisa`: 36]; kemudian penduduk sekampung; dan kemudian masyarakat secara keseluruhan dengan cara memberikan zakat sebagai kewajiban agama serta bantuan-bantuan lain yang bersifat suka rela.
Islam merupakan agama pertama yang menggariskan jaminan sosialnya mencakup orang-orang berhutang sampai hutang-hutang mereka terlunasi dan terlepas dari kesulitan; para budak sampai mereka dimerdekakan; para gelandangan dan pengangguran; para musafir—dari negeri yang sangat jauh—meskipun mereka memiliki kekayaan yang banyak di negerinya.
Jaminan sosial Islam juga mencakup anak-anak kecil yang tidak mempunyai wali sampai mereka menemukan wali yang mau mengasuh dan membesarkan mereka, juga mencakup fasilitasi pernikahan bagi siapapun yang tidak mempunyai wali atau tidak mempunyai harta. Para sejarawan menyebutkan, bahwa di masa kekhalifahannya, Sayyidina Umar ibn al-Khatthab ra. membangun sebuah gedung yang di dalamnya tersedia berbagai kebutuhan hidup sehari-hari seperti sagu, tepung, kurma, minyak, dan lain sebagainya yang dikhususkan bagi mereka yang membutuhkan. Dari sini bisa dilihat keunggulan jaminan sosial yang dikembangkan dan dipraktikkan di dalam Islam. Dimensi-dimensi kemanusiaannya begitu kuat dan mendalam yang merepresentasikan ajaran-ajaran luhur Islam sebagaimana termaktub di dalam al-Qur`an dan sunnah. Dan itu berdasarkan perspektif hubungan individu, masyarakat, dan negara.[]
Baca Juga: Hak-Hak Sosial dalam Islam (1)
[1] Segraid Hunkat, Syams al-‘Arab Tastha’ ‘alâ al-Gharb, Rabithah al-Alam al-Islami, Cet. VIII, 1972, hal. 126
[2] Abu Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Qayyim al-Jauziyah, Tuhfat al-Mawlûd bi Ahkâm al-Mawlûd, Bombai: al-Jami’ah al-Hindiyah al-Arabiyah, Cet. I, 1961, hal. 124