(Ulasan ini mengandung spoiler, baca dengan pertimbangan sendiri)
Beberapa hari yang lalu, temen saya mencak-mencak di grup setelah nonton Hati Suhita, film religi besutan Archie Hakagery yang dibintangi Nadya Arina dan Omar Daniel yang baru-baru ini keluar di bioskop. Saya dan teman satu ini punya pandangan politik yang cukup mirip, jadi saya suka setuju sama pendapat-pendapatnya dan menganggap reaksinya cukup sesuai dengan bagaimana kami akan merespon film-film bertema serupa (baca: religi). Tapi, besoknya, saya agak kaget melihat review-review dari rekan-rekan lainnya di Letterboxd yang memuji film ini, bahkan sampai bilang ini salah satu film terbaik tahun ini. Jujur, rasa penasaran saya langsung terpantik, apalagi ketika pacar saya juga terus-terusan memutar trailernya sambil ikutan mengucapkan dialognya–entah menikmati sungguhan, secara ironis, atau sekadar ingin bikin saya kesal.
Singkatnya, Hati Suhita bercerita soal Suhita dan Gus Birru yang dijodohkan dan bagaimana Gus Birru memperlakukan Suhita dengan buruk di pernikahan mereka sehingga Suhita berupaya untuk memenangkan hatinya, apalagi ketika hati itu masih bertambat pada cinta lamanya, Rengganis. Film soal perjodohan dan cinta segitiga bukanlah sesuatu yang baru, sebut saja salah satu karya sastra klasik kita yang mengusung tema sama: Siti Nurbaya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada satu elemen spesifik yang akhir-akhir ini cukup populer dalam mengiringi tema tersebut: konservatisme, atau lebih spesifik lagi, agama, atau lebih spesifik lagi, Islam. Memang belum terlalu banyak, but if I had a nickel every time a show or a movie about an Islamic girl who’s forced into marriage with a man who doesn’t love her and has to win his heart comes out, I would have (I think) 3 nickels, which isn’t a lot, but it’s weird that it happens thrice.
Sebagai seorang Muslim, saya tahu hal semacam ini (baca: perjodohan) masih terjadi. Sebagai seorang pembuat film yang suka membuat film untuk alasan katarsisme, saya jadi kepikiran, apakah fenomena ini (jika sudah bisa dibilang demikian) juga kasus yang sama: sebuah wujud eskapisme? Saya pun nge-tweet:
Saya akhirnya simpan itu sebagai sebuah thesis statement dan pergi ke bioskop. Saya baru saja selesai nonton, dan akhirnya… jreng, jreng, jreng… opini saya tidak terubah. Saya masih berpegangan pada asumsi tersebut. Berikut alasannya:
Di tengah-tengah film, saya membatin, saya tahu saya masih muda dan sejarah film kita sudah panjang, tapi film-film religi kita yang mainstream konservatif sekali, ya? Atau apa sayanya yang kurang mengekspos diri ke film lain? Mungkin agak aneh, ya meminta film religi yang tidak konservatif?–rasanya seperti sebuah oxymoron, tapi saya tahu kita punya beberapa (sepanjang pengetahuan saya yang cetek): Titian Serambut Dibelah Tujuh atau filmnya Garin Nugroho, Rindu Kami PadaMu, misalnya. Kenapa saya mempermasalahkan? Ya, sebenarnya tidak juga, saya cuma agak risih saja karena menurut saya, konservatisme ini menganggu Hati Suhita dalam bercerita. Saya jadi bertanya lagi, ini saya yang punya sensibilitas berbeda saja dengan demografi penonton film ini (toh, kebanyakan bilang ini film bagus) atau nilai ini (konservatisme) sungguhan menganggu sih?
Menurut saya, Hati Suhita punya pandangan yang sangat… lempeng terhadap semua hal. Ia entah baik atau buruk, benar atau salah, hitam atau putih. Sebuah pandangan yang mirip dengan sinetron atau FTV (yang tidak salah juga, tapi sinetron atau FTV tentu memiliki goal yang berbeda secara penceritaan dengan film bioskop). Lalu, mungkin karena ini film religi, ia mengambil pandangan yang baik hampir untuk semua karakter. Kita punya mertuanya Suhita yang digambarkan seperti kiriman surga: pendiri pesantren, selalu lembut, dan sangat menyayangi Suhita; kita punya mantan guru SMA Suhita yang di satu titik menjadi possible love interest-nya (agak eugh, I know, but he’s honestly the better choice)–pun sama, sangat tampan, soleh, pintar pula!; Rengganis, rivalnya Suhita, juga wanita Muslim modern yang bisa menginspirasi rekan kampus, murid, dan jago bikin dokumenter; dan tentu saja, kita punya Suhita sendiri yang tidak memiliki kecacatan SAMA SEKALI.
Suhita sepenuhnya mengabdi kepada Gus Birru–dan keluarganya. Sebelum sosok patriarki (bisa Gus Birru atau Abbah) bersabda, Suhita sudah datang duluan dengan kebutuhan mereka, mau buku yang habis dia bereskan atau lauk makan malam. Suhita tidak pernah mengeluh kepada mertuanya atau Gus Birru karena ingin menjaga hati yang pertama dan membuat jatuh hati yang kedua. Ketika dia melihat Gus Birru bertelponan dengan Rengganis, dia baca Qur’an untuk menenangkan hatinya alih-alih bertanya langsung ada apa. Ketika dia melihat Gus Birru menyaksikan video ceramah Rengganis dengan kagum, dia menyambut Rengganis dengan sirup blewah dan makan malam full-course di rumahnya. Tidak usah Putri Majapahit, malaikat pun minder dengan Suhita.