Memasuki tahun politik, masyarakat dihadapkan pada maraknya informasi dengan berbagai narasi, seperti hoaks (berita bohong), ujaran kebencian (hate speech), propaganda, opini untuk menciptakan public distrust terhadap pemerintah, mengadu domba dan memecah belah persatuan. Untuk hal diatas, masyarakat diimbau untuk membangun budaya tabayun dan saring sebelum sharing.
Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Konsultan Komunikasi dan Pakar Sosial Media mengungkapkan hoaks, misinformasi, disinformasi akan muncul di tahun politik ini. Menurutnya, informasi tersebut kerap sengaja diproduksi untuk membangun character assassination atau pembunuhan karakter terhadap seseorang maupun kelompok.
“Hal ini terjadi karena orang atau kelompok tersebut tidak percaya diri dengan kemampuannya untuk bersaing secara sehat,” ujar Kang Arul, sapaan Rulli Nasrullah, di Jakarta, Jumat (12/5/2023).
Kang Arul mengatakan konten tersebut dengan sengaja ‘dimakan’ dan disebarluarkan oleh buzzer dan influencer dengan memiliki semangat yang sama untuk menjatuhkan. Sebagai penerima pesan (receiver), hal ini menjadi catatan tersendiri untuk membangun ketahanan agar tidak mudah terkena maupun menyebarkan hoaks.
Menurut Kang Arul, persoalan hoaks itu menyasar ke emosi seseorang. Misalnya, konten terkait agama, suku, ras, agama, budaya, dan lainnya. Penulis buku Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia) ini berpendapat ada tiga alasan kenapa hoaks itu bisa berkembang.
“Pertama, banyak pengguna media sosial itu berpikir memakai logika waktu cepat. Jadi logika waktu cepat itu adalah informasi yang dipublikasikan itu main di telan saja, tanpa melakukan konfirmasi, tanpa melakukan check and re-check terhadap media-media mainstream,” ucap Kang Arul.
Kedua, lanjutnya friendvertaising, iklan atau informasi yang disampaikan oleh teman. Kang Arul mengatakan terkadang, relasi ini membuat masyarakat percaya terhadap seseorang, sehingga mudah untuk menerima dan menyebarkan informasi yang belum tentu benar.
“Apalagi sahabat, ternyata nge-share ke kita, masa hal-hal yang hoaks, gitu? Jadi, nggak mungkinlah teman-teman itu ngirimin hoaks segala macam,” kata Kang Arul.
Ketiga adalah kondisi psikologis yang tidak sadar. Hal ini terjadi karena lingkungan, dan circle pertemanan, dan konten yang dibaca adalah konten yang serupa. Sehingga secara naluri, orang itu tidak punya pilihan lain selain mempercayai hal-hal-hal tersebut. Apalagi ketika yang bersangkutan memiliki afiliasi yang berbeda, sehingga semakin membuat untuk membenci atau tidak senang.
“Karena temennya ngomong seperti itu, terus dia buka akun yang lain juga, (lingkungannya) juga nge-share juga seperti itu. Kemudian setiap hari dia juga mengakses informasi yang sama,” ucap Kang Arul.