Salah satu pertanyaan klasik yang sering muncul dalam ruang perdebatan antara sains, agama, dan filsafat adalah: apakah hukum alam bertentangan dengan agama, terutama ketika kita berbicara tentang mukjizat?
Dalam pandangan Islam, hukum alam (sunnatullah) adalah bagian dari ketetapan Tuhan. Al-Qur’an berulang kali menyebut istilah sunnatullah (QS. Al-Fath [48]: 23) yang menegaskan bahwa hukum yang berlaku di alam semesta tidak akan berubah. Dunia digerakkan dengan sunnatullah yang oleh para ilmuwan disebut sebagai hukum alam.
Sebab-akibat, gravitasi, rotasi bumi, hukum termodinamika, dan segala keteraturan kosmos merupakan “bahasa” Tuhan yang terwujud dalam jagat raya. Dengan demikian, ketika ilmuwan menemukan pola hukum alam, sejatinya mereka sedang membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan. Tidak ada pertentangan antara hukum alam dengan hukum Tuhan. Hukum alam adalah hukum Tuhan yang diletakkan pada jagad semesta.
Teologi Hukum Alam : Memahami Adatullah yang Berulang
Teologi Islam klasik melihat keteraturan ini sebagai qadha’ dan qadar. Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat tidak memiliki kekuatan mandiri, melainkan bekerja karena kehendak Tuhan yang terus-menerus memperbarui eksistensi segala sesuatu.
keteraturan sebab-akibat yang kita amati sejatinya adalah adatullah (kebiasaan Allah) yang dikehendaki-Nya berulang-ulang.
Artinya, api tidak “pada dirinya” membakar kapas, melainkan Tuhan yang membuat api membakar kapas setiap saat. Barang dilempar ke atas dan terjun ke bumi bukan karena ada gaya tersendiri, melainkan Tuhan memberi daya terhadap terciptanya gaya gravitasi. Karena itu, keteraturan sebab-akibat yang kita amati sejatinya adalah adatullah (kebiasaan Allah) yang dikehendaki-Nya berulang-ulang.
Namun di sisi lain, Ibnu Rusyd dalam Tahafut al-Tahafut menegaskan bahwa hukum sebab-akibat adalah bentuk keteraturan yang pasti dan rasional. Tanpa keyakinan akan keteraturan ini, ilmu pengetahuan mustahil berkembang. Menurut Ibnu Rusyd, Tuhan menetapkan hukum alam agar manusia dapat memahami, memanfaatkan, dan membangun peradaban. Dengan demikian, hukum alam adalah instrumen ilahi untuk menyingkap hikmah Tuhan.
Mukjizat: Menembus Keteraturan, Melampau Batas Nalar Manusia
Pertanyaan kritis muncul: bagaimana dengan mukjizat, yang tampak bertentangan dengan hukum alam? Misalnya tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular, laut terbelah, atau api yang menjadi dingin bagi Nabi Ibrahim. Secara empiris, semua itu tidak sesuai dengan hukum sebab-akibat yang kita pahami.
Dari perspektif teologi, mukjizat bukanlah pelanggaran hukum alam, melainkan pengecualian yang Tuhan kehendaki untuk tujuan tertentu. Seorang filsuf Muslim kontemporer, Seyyed Hossein Nasr, menekankan bahwa mukjizat adalah “tanda transendensi” yang membuktikan bahwa Tuhan tidak terikat pada hukum ciptaan-Nya sendiri. Jika hukum alam adalah jalan normal keteraturan, maka mukjizat adalah intervensi langsung Sang Pencipta untuk menegaskan otoritas-Nya.
Dalam teologi Islam klasik misalnya dibedakan antara khalik dan makhluk. Semesta adalah makhluk yang artinya segala sesuatu yang bukan Khalik. Segala sesuatu yang bukan Khalik mempunyai sifat berubah dan tidak kekal. Sementara Khalik adalah kekal dan konsisten.
Perubahan hukum alam dalam kasus mikjizat adalah bukti kebesaran Tuhan sekaligus bukti bahwa makhluk sangat mungkin berubah dengan kehendak Khalik. Yang tidak bisa berubah dan tiada hanyalah Sang Khalik.
Mukjizat adalah cara Tuhan membuktikan bahwa hukum alam ciptaan Tuhan bisa dengan kehendak Tuhan dirubah dalam beberapa kasus. Dalam pandangan filosofis, mukjizat tidak meniadakan hukum alam, melainkan membukakan kemungkinan bahwa hukum alam itu bukanlah mutlak, melainkan relatif terhadap kehendak Sang Mutlak.