Al-Ghazali menegaskan bahwa karena setiap detik eksistensi bergantung pada kehendak Tuhan, maka tidak ada kontradiksi ketika Tuhan menghadirkan mukjizat. Mukjizat adalah pengecualian yang hanya bisa dilakukan oleh sumber hukum itu sendiri.
Mukjizat adalah batas pembeda antara Tuhan dan manusia. Mukjizat adalah cara Tuhan mengajarkan bahwa akal yang diberikan Tuhan untuk manusia ada batasnya. Ketidakmampuan akal manusia bukan berarti kemustahilan Tuhan untuk melakukannya.
Melalui hukum alam, manusia belajar berpikir rasional, menemukan teknologi, dan mengembangkan peradaban. Tetapi melalui mukjizat, manusia diingatkan bahwa ada realitas transenden yang melampaui nalar dan hukum fisika. Mukjizat bukan untuk membatalkan akal, melainkan mengajarkan bahwa akal memiliki batas.
Di sinilah letak keseimbangan antara iman dan akal: hukum alam adalah hukum Tuhan yang dapat dipelajari, sementara mukjizat adalah tanda yang mengarahkan manusia kepada kesadaran spiritual bahwa kehidupan tidak semata-mata berjalan di atas rel kausalitas mekanistik.
Maka jelas, hukum alam tidak bertentangan dengan agama. Ia justru merupakan sunnatullah yang wajib dipelajari. Adapun mukjizat adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa Ia bebas dari keterikatan hukum yang Ia ciptakan. Dengan demikian, mukjizat bukanlah kontradiksi atas hukum alam, melainkan penegasan bahwa di balik hukum itu ada Sang Pencipta yang Mahakuasa.
Dengan menyadari hal ini, kita tidak terjebak dalam dikotomi sempit antara sains dan agama. Sebaliknya, kita memahami bahwa keduanya adalah jalan berbeda menuju kebenaran yang satu: Tuhan yang menciptakan hukum sebab-akibat, sekaligus berhak menangguhkan atau menembusnya.