Pada pagi harinya, umat muslim berbondong-bondong berjalan dan berkumpul di masjid atau lapangan besar untuk melaksanakan shalat sunnah Idul Adha. Setelah selesai sholat sunnah, dilaksanakanlah ibadah penyembelihan hewan kurban. Daging kurban dibagikan kepada orang yang berkurban, kerabat, teman, tetangga dan fakir miskin. Bahkan, berbagi kepada tetangga non-muslim diperbolehkan. Daging kurban dibagikan dalam keadaan mentah, berbeda dengan aqiqah yang dibagikan dalam keadaan sudah matang.
Hal-hal yang dilakukan pada malam dan pada hari raya Idul Adha sangatlah menguatkan hubungan antar sesama. Dimulai dari bertakbir bersama, mempertemukan umat yang jarang bertemu kemudian bertakbir bersama. Lalu melaksanakan sholat Idul Adha yang pastinya dilakukan umat islam karena sholat sunnah ini hanya dilakukan 1 kali dalam 1 tahun, dan umat muslim pun berkumpul dan melaksanakan sholat sunnah Idul Adha secara berjamaah. Kemudian dilaksanakannya penyembelihan hewan kurban bersama-sama dan daging kurban dibagikan kepada yang berkurban, kerabat, teman, tetangga dan fakir miskin.
Dengan berbagi daging kurban, menguatkan hubungan satu sama lain. Pembagian daging kurban terhadap fakir miskin pun, sangatlah berarti untuk mereka yang mungkin belum pernah merasakan daging karena tidak mampu membelinya. Dengan berbagi, memiliki manfaat meningkatkan jiwa sosial, menciptakan persatuan dan persaudaraan serta mendapatkan pahala.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat dalam bukunya berjudul Ungkapan Hikmah mengatakan, membantu sahabat atau orang sekitar sama saja sebagai tindakan menebar vibrasi syukur kepada Allah. Energi ketulusan dalam bantuan itu akan menebar kepada orang-orang yang dibantu.
Beliau menjelaskan, sudah sepatutnya manusia bersyukur karena Allah dapat memberikan kesempatan kepadanya untuk memberikan bantuan kepada orang lain. Bukan malah memberi kepada orang lain supaya bersyukur dan berterima kasih kepada kita.
Kemudian ia lebih lanjut menjelaskan, memberikan sesuatu kepada orang lain bukan berarti kita menjadi rugi. Jika manusia mengukurnya dengan materi dan hitungan matematis, mungkin saja manusia akan memberi pada orang lain lalu berkata apa yang dimiliki akan berkurang.
Padahal pada hakikatnya sikap memberi itu tak sama sekali merasa rugi. Asalkan nilai pemberian itu dilandasi dengan niat yang baik, ketulusan, keikhlasan, dan juga keimanan. Segala sesuatu dalam kebaikan seberapapun besar dan kecil nilainya, kan terasa ringan apabila dilakukan dengan tulus dan ikhlas.