Sementara itu, di lingkungan sekolah negeri, praktik moderasi beragama diterapkan secara sistemik dan terbatas. SMAN 53 Jakarta bisa menjadi contoh best practice moderasi beragama tanpa menggunakan label moderasi beragama. Di sekolah ini, nilai-nilai moderasi beragama seperti toleransi, antikekerasan, dan nasionalisme terlihat pada kultur dan program-program sekolah seperti Profil Pelajar Pancasila, budaya sekolah damai, pluralitas agama dan gender, baik dalam organisasi kesiswaan maupun pada kegiatan keagamaan yang mengakomodasi budaya lokal. Bahkan, adanya kolaborasi dengan pihak luar, seperti organisasi nirlaba yang peduli terhadap isu toleransi dan perdamaian, memperkuat upaya moderasi beragama di sekolah ini.
“Sementara di MAN Insan Cendekia, madrasah di bawah Kemenag RI, praktik moderasi beragama lebih bersifat formal dan menekankan pada aspek ubudiyah. Moderasi beragama dipraktikkan dengan kegiatan seminar penguatan moderasi beragama setahun sekali, mengirim delegasi untuk mengikuti kegiatan pelatihan moderasi beragama di luar sekolah dan penunjukkan Duta Moderasi Beragama”, jelas Iqbal.
Kabar baik selanjutnya, penelitian ini tidak menemukan praktik diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim. Sebaliknya, ditemukan banyak praktik baik terkait dengan kepemimpinan perempuan dan non-muslim. Selain itu, tidak ditemukan kebijakan pemaksaan pakaian berdasarkan keyakinan agama, khususnya di lembaga yang tidak berbasis agama.
Meski demikian, penelitian ini mendapati masih adanya anggapan kritis mengenai moderasi beragama yang selaras dengan klaim organisasi radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahwa moderasi beragama dapat melemahkan akidah. Anggapan ini ditemukan di antaranya di PLN dan MAN Insan Cendekia. Nalar penerimaan kritis ini terlihat dari nalar kewaspadaan yang menekankan pada batasan dalam moderasi beragama agar jangan menyentuh akidah dan terbatas pada aspek mu’amalah (hubungan sosial).
Selain itu, masih ditemukannya praktik moderasi beragama yang bersifat negosiatif dan berpotensi menjadi celah masuknya pemikiran radikal. “Hal ini ditemukan dalam strategi yang menghindari pola konfrontatif, misalnya berusaha merangkul semua kelompok keagamaan. Di PLN, pola ini lahir dari perspektif perusahaan sebagai “rumah bersama” sehingga tidak ada larangan terhadap unsur yang berafiliasi dengan HTI”, ungkap Rizka.
Penelitian ini menghasilkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, Kementerian Agama RI perlu mendesain implementasi moderasi beragama yang menekankan kolaborasi banyak pihak dan berkelanjutan. Kementerian BUMN RI perlu merancang ekosistem yang mendorong penguatan moderasi beragama, serta memberi perhatian terhadap kelompok atau individu yang dapat mengancam moderasi beragama. Sementara di lingkungan sekolah, lembaga dapat mengupayakan ide-ide kreatif praktik moderasi beragama, yang tidak sebatas kegiatan, namun meliputi kebijakan dan kultur. (END)