Aktivis yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia ini menambahkan, proses konsolidasi secara rutin di Al-Zaytun telah terbukti karena banyak pengakuan-pengakuan dari orang-orang terdekatnya Panji Gumilang. Pengakuan oleh Maulana dari Kalimantan Selatan, beberapa mantan pengajar dan alumni Al-Zaytun yang mengatakan bahwa banyak sekali orang-orang liar yang dimasukkan pada acara tahunan 1 Muharram yang sama sekali tidak terkait dengan Al-Zaytun.
Gus Islah menegaskan bahwa perlu memisahkan Al-Zaytun sebagai lembaga pendidikan aktif dengan Panji Gumilang dan NII yang sampai hari ini masih melakukan konsolidasi dengan jaringannya di Indonesia. Al-Zaytun sendiri sebenarnya hanya dijadikan episentrum oleh Panji Gumilang dengan segala kepentingannya.
“Yang menarik adalah bahwa sebenarnya tidak ada kaitannya Al-Zaytun dengan NII sendiri. Memang Al-Zaytun ini dibentuk oleh seorang NII yang bernama Abu Toto alias Panji Gumilang alias Abu Maarik, banyak sekali namanya. Tapi kalau kita perhatikan memang sebenarnya Al-Zaytun sendiri ini adalah lembaga pendidikan pada zaman Orde Baru milik Panji Gumilang yang mantan NII ini setelah digalang oleh pemerintah ketika itu,” terang Gus Islah.
Dirinya menyebutkan, ketika Panji Gumilang berniat untuk mendirikan Al-Zaytun sebagai lembaga pendidikan, pemerintah banyak sekali memberikan dukungan terhadap keinginan Panji Gumilang ini. Pada dasarnya, proses penggalangan terhadap Panji Gumilang ini sudah terjadi sejak akhir dekade tahun 90-an dan berlanjut ketika pada zaman Presiden Ibu Megawati. Waktu itu Kepala BIN adalah Pak Hendropriyono.
Terkait perbedaan fikih yang terjadi di Al-Zaytun, Gus Islah berpendapat bahwa hal itu tidaklah menjadi masalah. Di dalam Islam sendiri sejarah-sejarah terbentuknya berbagai sekte, firqoh, ataupun ajaran yang berbeda itu memang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Di Indonesia juga antar organisasi saja bisa berbeda pandangan fikihnya.
Ia menambahkan bahwa fikih Muhammadiyah dan NU juga berbeda, ditambah dengan Al-Irsyad dan lain sebagainya. Ini adalah berbagai khilafiyah yang lazim terjadi. Perbedaan sejatinya akan terus ada dan ini tidak boleh dikekang.
“Yang harus kita hindari adalah pemahaman takfir atau mengkafirkan sesama yang cenderung menghegemoni dan melakukan klaim kebenaran atas nama diri dan kelompoknya, lalu memberikan stigma dan penghakiman “pasti salah” terhadap orang lain yang berbeda. Ini yang nggak boleh,” pungkas Gus Islah.