Kita lihat di berbagai wilayah yang dikuasai Islam, khususnya di masa Rasulullah Saw. dan para sahabat, seluruh aliran pemikiran diletakkan di jalan dialog yang kreatif dan produktif. Dalam lingkungan seperti ini, menuntut ilmu menjadi sesuatu kewajiban, dan riset keilmuan (al-bahts al-‘ilmîy) memiliki peranan sangat besar yang tanpa ikatan (tidak dibatasi). Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi,” [QS. Yunus: 101]. Islam memang tidak memberikan bagi kebebasan berpikir ikatan-ikatan dari luarnya, yang penting tidak melanggar dan melabrak kebebasan itu sendiri yang nantinya bisa menyebabkan timbulnya fanatisme dan rasialisme, atau menjadi pintu masuk bagi tabiat-tabiat yang dapat menghancurkan asas-asas yang berlaku di masyarakat.
Kebebasan merupakan nilai kemanusiaan yang sangat luhur, dan ia bisa kehilangan maknanya bila terlepas dari nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan keadilan. Kebebasan tidak berlaku bagi orang zhalim dan orang gila. Hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya yang berbunyi, “Lâ dharara wa lâ dhirâra,” [HR. Imam Malik] yang artinya kurang lebih “tidak membahayakan diri sendiri dan tidak pula membahayakan orang lain”. Menguatkan hadits ini, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Maka tidak ada permusuhan [lagi], kecuali terhadap orang-orang yang zhalim,” [QS. al-Baqarah: 193].
Maka merupakan sesuatu yang wajar bila agama menempatkan manusia sebagai khalifah Allah ‘Azza wa Jalla karena potensi akal, kehendak, dan kebebasannya. Manusia tidak boleh membelenggu potensi-potensi tersebut, tetapi harus membebaskan dan mengembangkannya, serta melakukan ijtihad untuk mendorongnya agar selalu bergerak dan aktif. Dalam hal ini, peran agama cukup memberikan petunjuk dan arahan, serta membiarkan manusia menentukan sendiri perjalanan hidupnya dan menjaga tanggungjawab kekhilafahannya di muka bumi.
Islam mengakui pemikiran dan kebebasan manusia dengan menjadikan proses berpikir sebagai sebuah kewajiban. Bagaimana tidak, sementara Islam—dengan tugas manusia sebagai khalifah—telah mempercayakan kepada manusia untuk mengemban persoalan yang berhubungan sangat erat dengan pilihan hidupnya, seperti masalah keyakinan berikut hal-hal yang berkaitan dengannya berupa prilaku-prilaku dan ritual-ritualnya. Makanya, ayat-ayat al-Qur`an tidak pernah bosan mendorong proses berpikir, kebebasan berpendapat, mengarahkan akal dan mengajaknya untuk tidak mengikuti ilusi-ilusi tak berdasar, tidak mengikuti orang-orang bodoh, dan tidak selalu terpaku pada tradisi nenek moyang yang tidak kontekstual dengan zaman kekiniannya. Dan untuk menjaga akal, Islam juga melarang hal-hal yang dapat merusaknya, seperti minuman keras yang memabukkan, serta melarangnya untuk tidak tunduk kepada berbagai macam despotisme.
Kebebasan berpendapat mempunyai peranan besar dalam mengembangkan dan memajukan peradaban Islam. Lebih dari itu, kebebasan berpendapat juga memiliki kontribusi besar dalam mempersatukan umat Muslim dan menjauhkan mereka dari perang-perang antaragama dan antarsuku/ras seperti yang marak terjadi di dalam peradaban-peradaban lain akibat merebaknya fanatisme. Sejak awal, Islam sebenarnya sudah mengakui pluralitas agama, dan menjadikan ijtihad sebagai tugas mulia bagi setiap muslim sesuai dengan kadar keilmuannya.[]
Baca Juga: Otoritas Politik dalam Negara Khilafah (Bagian 1)
[1] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabarîy, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl Âyi al-Qurân (ed. Muhammad Syakir), Kairo: Dar el-Ma’arif, hal. 15