Orang tua juga hendaknya memastikan dalam menentukan institusi pendidikan bagi anak anaknya, untuk mengutamakan sekolah yang menjunjung nilai pluralitas, moderasi agama, dan berwawasan inklusif. Selain itu, diperlukan langkah strategis dari pemerintah untuk mendisiplinkan institusi swasta berkedok islami yang menyimpan agenda lain yang tidak senafas dengan tujuan system Pendidikan nasional. Dalam koridor ini, pemerintah nampaknya harus berurusan dengan pekerjaan besar dan kusut yang menunggu untuk diurai. Sebab, gejala islamisme tidak hanya menjangkit institusi Pendidikan swasta, namun juga intitusi Pendidikan di bawah naungan pemerintah. Gerakan islamisme di lingkup Pendidikan Negeri berkembang dengan cepat dan menginfiltrasi dari berbagai sisi. Pendidikan agama islam dan Budi Pekerti menjadi media empuk untuk menyebarkan agenda islamisme secara tekstual dan doktrinal.
Geliat Islamisme di Lingkup Pendidikan Negeri
Kita sebaiknya ingat dengan kasus broadcast pesan oleh guru agama Islam dan budi pekerti SMAN 58 Jakarta yang mengajak muridnya untuk tidak memilih pasangan calon ketua OSIS yang tidak Islam. Pada peristiwa tersebut, guru agama mengajak siswa untuk mendukung paslon 3 dengan alasan seagama. Dari kacamata demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat, ajakan tersebut sejatinya tidak menyalahi prinsip freedom of speech, siapapun berhak untuk menyampaikan opini dan aspirasi. Tetapi, perilaku seorang guru agama terlebih berstatus sebagai pegawai negeri sipil yang musti tunduk dan patuh dengan etika profesi, yang mendorong siswanya untuk memilih pemimpin hanya berlandaskan kesamaan aqidah, adalah tidak etis, menumpulkan semangat demokrasi dan melemahkan daya kritis peserta didik. Dari sudut pandang reformasi radikal, peristiwa ini adalah gejala yang menunjukkan rentannya pendidikan negeri dari pemahaman islamisme.
Peristiwa tersebut adalah fenomena Gunung es, hanya secuil dari gejala islamisme yang terekspos media. Pada kenyataannya, beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa guru dan materi Pendidikan agama Islam dan budi pekerti memainkan peran yang krusial dalam menyebarkan paham islam yang eksklusif. Mari kita lihat hasil laporan tahunan Convey tahun 2018 yang mengungkapkan bahwa 48.9% siswa dan mahasiswa mengakui bahwa pelajaran Pendidikan Agama Islam berpengaruh besar terhadap mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain3. Pendidikan agama Islam di sekolah negeri menjadi media strategis yang dimanfaatkan oleh kelompok islamisme menyebarkan pemahaman islamisme dengan pendekatan dogmatis. Penyebaran islamisme digaungkan oleh para guru yang sepemahaman dan melalui aktifitas organisasi keagamaan maupun kegiatan ekstrakurikuler Islami dengan cara mendatangkan pemateri yang mendakwahkan eksklusifisme dalam Islam.
Seorang guru agama Islam di salah satu Sekolah Negeri di Kota Bogor mengungkapkan kepada saya dalam sesi wawancara bahwasannya dalam melakukan proses pembelajaran, beliau sering menerapkan metode diskusi namun itu hanya berlaku dalam bab tertentu yang tidak terkait dengan aqidah. Khusus dalam bab aqidah, Bapak Guru menerapkan pedagogi tertutup dan bersifat doktrinal. Dalam mengucapkan ucapan selamat hari raya bagi pemeluk agama lain misalnya, Bapak Guru menyatakan bahwa itu melanggar aqidah dan pelarangan itu turun langsung dari Alloh SWT, sehingga para siswa diharamkan untuk memberikan selamat kepada pemeluk agama lain, terlepas apapun motif dan niat yang ingin disampaikan.
Dalam sesi diskusi lain dengan narasumber berbeda, seorang guru agama dari sekolah favorit di Kota Bogor, mengungkapkan ketidaksetujuannya pada diskusi antar agama yang bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman agama yang inklusif di tengah heterogenitas masyarakat Indonesia. Menurutnya hal itu sia sia karena kebenaran mutlak agama Islam tidak bisa disandingkan dengan nilai dan kepercayaan agama lain.
Tatacara beragama yang eksklusif ditunjukkan oleh sekumpulan guru agama islam yang seharusnya menunjukkan wajah islam yang damai dan inklusif. Tidak mengherankan jika atmosfer beragama yang senada ditangkap dan diterapkan oleh siswa dan mempengaruhi mereka untuk berfikiran sempit dalam beragama. Inilah yang diharapkan oleh kelompok pendukung islamisme, sebab pola pikir beragama yang sempit dan kaku memudahkan langkah mereka dalam memobilisasi massa yang mana pada saatnya nanti, dapat digerakkan untuk mewujudkan tujuan utama gerakan islamisme, politisasi agama menuju tatanan totaliter.
Ekspansi islamisme di dunia Pendidikan negeri tidak hanya difasilitasi melalui pembelajaran dan guru agama islam, islamisme merebak dalam kentalnya nuansa islam di lingkungan Sekolah yang semestinya netral dari atribut identitas agama manapun. Mengingat Sekolah umum negeri adalah representasi negara dalam memberikan pelayanan Pendidikan bagi seluruh rakyatnya tanpa melihat apa agama dan identitas yang melekat. Dominasi pemeluk islam sebagai penduduk mayoritas tidak bisa dijadikan legitimasi otoritas Sekolah untuk menghadirkan corak islami yang mengisi ruang publik.
Observasi lapangan pada salah satu Sekolah umum negeri di Kota Bogor memaparkan fakta empiris terhadap argument di atas. Selama jam sekolah pada pukul 06.45 WIB, siswa sekolah negeri tersebut secara serentak membaca Al-qur’an di kelasnya masing-masing dengan diawasi oleh gurunya. Kemudian lanjutkan dengan mendengarkan (ceramah tujuh menit) secara terpusat melalui pengeras suara. Menurut studi pustaka, gaya kegiatan keagamaan serupa juga terjadi di sekolah negeri lain seperti di salah satu Sekolah negeri di Depok4.
Prof. Dr. H. Raihani, M.Ed, Ph.D dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa nilai Islam merupakan budaya yang mewarnai wajah pendidikan sekolah negeri di Indonesia5. Terkait hal ini, Schubert (2002) seperti dikutip Kevin Nobel Kurniawan dalam penelitiannya mengatakan bahwa dominasi ini menunjukkan kebutuhan kecerdasan spiritual kelompok mayoritas Muslim yang dianggap lebih penting daripada kelompok minoritas non-Muslim. Hal ini disebut juga kekerasan simbolik, yaitu bentuk kekerasan yang secara implisit diatur oleh struktur sekolah formal melalui dominasi nilai-nilai budaya tertentu.
Warna agama Islam yang mendominasi institusi pendidikan negeri yang semestinya netral dari atribut agama tertentu, menjadi alarm bagi pemerintah untuk merespon gejala islamisme yang menjamur sebelum terlalu sulit untuk dibendung. Pemerintah perlu memberikan pengarahan komprehensif dan mengembal alih kendali negara dari pengaruh kelompok yang berpotensi memecah belah bangsa.
Tidak kalah penting adalah sinergitas bersama warga negara Indonesia untuk lebih peduli terhadap gejolak sosial keagamaan di sekitar kita dengan aktif menyebarkan narasi narasi kerukunan dan perdamaian serta menyebarkan dakwah islam yang santun, inklusif dan anti kekerasan.
Referensi Pustaka:
- Mahmudah, S. Islamisme: Kemunculan Dan Perkembangannya Di Indonesia. Aqlam J. Islam Plur. 3, 1–16 (2018).
- Hasan, N. Education, Young Islamists and Integrated Islamic Schools in Indonesia. Stud. Islam. 19, (2012).
- PPIM. Api dalam Sekam Keberagamaan Muslim Gen-Z. 1, (2018).
- Kurniawan, K. N. Tolerance education in the hidden curriculum : A case study on Indonesian public school. Masy. J. Sosiol. 23, 1–30 (2018).
- Parker, L. & Raihani, R. Democratizing Indonesia through education? community participation in Islamic Schooling. Educ. Manag. Adm. Leadersh. 39, 712–732 (2011).