Dari kalangan tabi’in yang berpendapat demikian di antaranya, Alqamah, Sya’biy, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ka’ab al-Ahbar, Qatadah, Masruq, Ikrimah, Qasim bin Abi Bazzah, Atha`, Abdurrahman bin Sabith, al-Zuhry, al-Sadiy, Abdullah bin Abi al-Hudzail, dan Malik bin Anas.
Pendapat ini bukan hanya didasarkan pada hadits, tapi juga asumsi kesejarahan. Kelompok kedua ini mengakui bahwa tanduk domba yang disembelih itu digantung di Ka’bah, tapi–menurut mereka–itu dibawa Ibrahim dari negeri Kan’an, tempat tingal Ishak.
Sayangnya, sekalipun pendapat kedua ini memiliki argumentasi yang kuat, tetap saja ia kalah populer dengan pendapat pertama. Jangan-jangan, pendapat yang kedua ini tertolak hanya karena ia didukung atau (malah) merujuk pada Perjanjian Lama.
Di dalam Perjanjian Lama disebut bahwa Ishak lah yang akan dikurbankan, dan bukan Ismail. Tuhan berfirman kepada Ibrahim, “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” (Kejadian, 22: 2].
Pada sumber inilah, seluruh umat Yahudi dan Nashrani mengacu, sehingga tak terlalu tampak perselisihan pendapat di antara mereka.
Berbeda dengan Perjanjian Lama, Alquran tidak menuturkan dengan tegas tentang siapa yang hendak disembelih Ibrahim tersebut. Dari sinilah kiranya perbedaan pendapat itu bermula. Mungkin ada yang meng-copy Perjanjian Lama bahwa Ishak lah yang hendak disembelih.
Ada yang menyangkal bahwa yang mau disembelih itu Ismail, bukan Ishak. Anehnya, hadits yang menjelaskan hal ini pun cukup beragam. Suatu waktu Nabi menyebut Ismail. Kala yang lain berkata Ishaq.
Pada hemat saya, ini merupakan bukti betapa tidak mudahnya melakukan verifikasi terhadap sejumlah peristiwa yang terjadi pada zaman lampau. Sejumlah kisah yang disajikan Alquran tak sepenuhnya bisa dan boleh di cek secara ilmiah, menyangkut akurasi dan validitas datanya. Sebab, terlalu banyak orang yang berkeberatan jika Alquran diperlakukan secara demikian.