Di era post truth, radikalisasi dengan label agama semakin menjamur. Uniknya, radikalisasi tak hanya menyasar kaum laki-laki. Kaum perempuan pun menjadi incaran radikalis. Hal ini tentu tak berangkat dari ruang hampa. Ide bahwa perempuan merupakan pemantik iklim emosi dalam keluarga menjadi core value kaum radikal untuk merekrut anggota. Perempuan yang digadang sebagai peacekeeper justru dibanjiri dengan pesan-pesan intoleransi. Jangkar-jangkar pesan intoleransi ‘dipasang’ untuk mengajak perempuan menjadi radikalis militan.
Dengan memanfaatkan ketahanan berjuang kaum perempuan, kaum radikalis berharap perempuan dapat merekrut anak-anak agar bersikap intoleran sejak dini. Mendidik agar anak intoleran sangatlah mudah. Sebagai digital native yang masih junior, anak memiliki kecenderungan memiliki perasaan kesepian. Koneksi yang kuat dengan internet membuat anak memiliki emosi yang gersang dan ‘hampa’, sehingga mereka mudah bersikap apatis, tak peduli. Bila hal ini dibiarkan begitu saja, fitrah anak untuk menyebarkan salam (baca: perdamaian) akan terkikis secara alamiah.
Digital Native
Prensky (2001) mengungkapkan istilah digital native pertama kali untuk mengklasifikasikan generasi yang lahir di era digital. Lingkungan digital secara alami dikelilingi oleh komputer, internet, gawai, video game, hingga reels di sosial media. Jamak diketahui bersama bahwa bahwa digital native ialah generasi yang lahir setelah tahun 1990. Hal ini berarti bahwa kaum milenial merupakan digital native yang menyukai hal praktis, tak bisa lepas dari internet, dan multitasking.
Menyadari hal ini, kaderisasi peacekeeper pada digital native harus diprioritaskan. Pendidikan semestinya dapat melembutkan hati, memupuk rasa toleransi, dan mencetak kader peacekeeper sebagai kontra dari gerakan radikalisme yang kini semakin masif. Pendidikan toleransi dan perdamaian haruslah berdasarkan pada kurikulum yang bersambung, sejak level pendidikan usia dini hingga level pendidikan tinggi. Tidak hanya itu, pendidikan toleransi dan aktualisasi nilai-nilai Islam ramah harus diaplikasikan mulai dari lingkungan keluarga, tetangga, hingga masyarakat luas.
Melalui reels, video pendek, dan konten-konten lainnya pendidikan toleransi menjadi efektif untuk disebarluaskan. Sayangnya, banyak pula konten-konten bermuatan ujaran kebencian, dan konten berisi ketidaksopanan bertebaran. Anak dengan kemampuan validasi konten yang masih sangat terbatas akan cenderung mengimitasinya. Pada titik inilah, kaderisasi peacekeeper pada digital native dilawan oleh arus yang kuat, deras, dan masif. Perlu adanya konten-konten toleran dan damai untuk anak, sehingga anak lebih mudah memproduksi sikap toleran, damai, dan mengekspresikan Islam yang rahmatan lil alamin.