Menangkal Radikalisme
Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat sebenarnya bak pisau bermata dua. Di satu sisi, perkembangan tersebut menjadi jalur percepatan informasi yang benar dan tepat guna. Namun di sisi lain, perkembangan informasi dapat pula dimanfaatkan sebagai senjata bagi kaum radikal untuk menyusun narasi kekerasan mengatasnamakan agama. Mudah pula bagi kaum radikal untuk menyusun narasi kebencian kepada ulama dan umara sekaligus mengajak kaum muda dan masyarakat luas untuk bersikap intoleran (baca: penuh kebencian).
Bastian, dkk (2021) mengungkapkan bahwa literasi digital penting dalam menangkal radikalisme. Peningkatan literasi digital dapat dilakukan melalui siBerkreasi. Selain itu, perempuan sebagai target radikalisasi harus mulai aware dan menggiatkan literasi toleransi dalam keluarga. Apabila anak diarahkan untuk berliterasi toleransi, maka mereka akan mencintai perdamaian dan menjadi peacekeeper yang tangguh untuk menghalau intoleransi dan radikalisme. Literasi toleransi dalam keluarga dapat dilakukan melalui kegiatan curah rasa, story telling kisah inspiratif yang mengandung konten toleransi-perdamaian, dan lain sebagainya.
Ibu sebagai madrasah pertama dan utama harus mampu mengajarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Tidak cukup itu saja, anak pun harus mendapatkan pendidikan toleransi di lingkungan sekolah, tempat ibadah, dan masyarakat. Kaderisasi peacekeeper pada digital native merupakan sebuah proyek menuju jalan humanisasi di era post truth, di mana ujaran kebencian dan hoaks berseliweran dan menjadi toksik bagi perkembangan kejiwaan anak dan kematangan orang-orang dewasa.
Ibu sebagai perempuan digital harus mampu mendampingi anak dalam memvalidasi konten yang layak untuk dilike, share, dan subscribe. Tak hanya perempuan, laki-laki juga memiliki tugas kemanusiaan yang sama dalam menjaga anak dari pengaruh radikal media. Keduanya saling berkontribusi dalam kaderisasi peacekeeper pada digital native. Jangan sampai, anak-anak terpikat dan menjadi follower kaum radikal sehingga akan mengcopy-paste radikalisme dalam pikiran dan perilaku. Wallahu’alam.
Baca Juga: Perempuan dalam Jejaring Terorisme : Pergeseran dari Simpatisan Menjadi Martir