Kedua, yaitu soal akhlak atau moralitas. Kesadaran akan eksklusifitas metode dakwahnya, membuat Hanan Attaki soft hearted. Saya akui market dakwahnya yang dapat masuk di kalangan anak-anak muda memang sukses. Akan tetapi, ia masih belum menyentuh aspek moralitas.
Kurangnya ia bersilaturahim – atau di kalangan NU menyebut “sowan” – kepada para ulama di Nusantara mencerminkan ia pendakwah karena mengejar materi dan tuntutan pasar. Padahal, andaikan ia bersilaturahim kepada para ulama dan masyaikh juga mendapatkan keberkahan dan keilmuan.
Dan yang ketiga, adalah persoalan spiritualitas. Seorang manusia pernah mengalami titik spiritualitas masing-masing. Baik dari agama dan kepercayaan mana pun. Dalam kesempatan berbicara, Hanan Attaki mengaku butuh bimbingan mursyid (guru) dalam tuntunan kehidupannya.
Menurut saya, baiat NU oleh Hanan Attaki ini masih terkesan ada yang ganjal. Karena setahu al-faqir, orang yang dibaiat adalah yang telah selesai menjalankan fase belajar atau transfer keilmuan. It’s ok, jika peristiwa baiat NU itu untuk menjustifikasi bahwa Hanan Attaki ya orang NU. Lalu, apa yang akan dilakukan Hanan Attaki jika sudah NU?