Sebenarnya tulisan ini keluar dari renungan penulis terkait ramainya saling berebut ruang publik. Ada beberapa ormas Islam, banom, lembaga, bahkan pemerintah yang membuat keruh situasi nasional. Di lain kondisi, mereka lupa bahwa masjid dan mushala dikuasai orang-orang dari kelompok yang berideologi salafi.
Kepulangan Habib Rizieq Shihab ke tanah air telah ditunggu-tunggu oleh para muhibbin-nya (FPI). Kedatangannya pun disambut dengan bacaan-bacaan takbir dan shalawat Nabi SAW. Yang lebih greget lagi, mereka berkerumun ditengah-tengah pandemi COVID-19 yang tak kunjung reda.
Bukan Habib Rizieq jika tidak membuat sensasi. Pernyataannya yang kontroversial semakin membuat “gaduh” di dalam umat Islam sendiri dan umat agama lain. Mulai dari misi “Revolusi Akhlak”, pernikahan anak, sampai urusan Nikita Mirzani menjadi sesuatu hal yang mewarnai wacana ruang publik di penghujung akhir 2020.
Baca Juga: Apa Sih Yang Dimaksud Dengan Revolusi Akhlak?
Kumpulan atau kerumunan tak dapat dibendung. Atas kejadian ini, beberapa kepala kepolisian daerah dicopot !. Secara obyektif, hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Habib Rizieq dan para pencintanya tidak takut tertular? Bukankah seseorang yang pulang atau setelah berpergian melaksanakan karantina mandiri?. Tampaknya beliau sulit untuk dipersamakan frekuensi.
Lebih kontra lagi ketika Habib Rizieq melontarkan kata-kata yang “tidak bermarwah” bagi seorang Habib pada umumnya. Kata-kata yang tidak pantas diucapkan saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Lihat saja, jamaah maulid itu tak hanya dihadiri orang dewasa saja, tetapi anak-anak juga turut serta. So, ini yang paling dikhawatirkan.
Kegaduhan ini membuat kalangan seperti nahdhiyyin (NU), muhammadiyyin (Muhammadiyah), dan organisasi Islam moderat sempat geram. Mempertanyakan dimana keadilan pemerintah, disaat kebanyakan umat untuk physical distancing, sebagian oknum malah berkerumun. Pemerintah yang membuat aturan dan dinilai tidak dapat mencegah kejadian tersebut.
Rangkaian peristiwa ini adalah sesuatu hal yang memang tidak bisa kita abaikan. Ada semacam saling berebut ruang publik untuk eksistensi diri, keluarga, bahkan kelompok masing-masing. Habermas dalam bukunya Structural Transformation of The Public Sphere, mengartikan bahwa ruang publik adalah ruang bagi diskusi kritis, terbuka bagi semua warga untuk membentuk sebuah ‘nalar publik’ yang kemudian dipakai untuk pengawasan terhadap kekuasaan negara (Habermas, 1989). Jadi, baik Habib Rizieq dengan FPI-nya, nahdhiyyin, muhammadiyyin, pemerintah, dan lain-lain, memang saling mempunyai kepentingan masing-masing.