Kebebasan seorang individu dalam memilih keyakinannya tanpa paksaan apapun menjadi salah satu nilai yang sangat dijaga dan dipelihara di dalam Islam. Seorang pakar ilmu ushul, Syaikh al-Thahir ibn Asyur, berpandangan bahwa salah satu dasar syariat (ushûl al-syarî’ah) adalah kebebasan berkeyakinan dengan melarang berbagai sarana pemaksaan.
Selain itu, syariat juga mengharuskan kepada setiap penganut agama agar menjaga keyakinannya dengan menegakkan kebenaran, serta menghindari fitnah (kekacauan) dengan tidak mencela keyakinan orang lain yang berbeda. Dan salah satu tujuan jihad di dalam syariat adalah menjaga kebebasan berkeyakinan serta pluralitas agama tanpa adanya paksaan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا.
“[Yaitu] orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, ‘Tuhan kami hanyalah Allah.’ Dan sekiranya Allah tiada menolak [keganasan] sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah,’” [QS. al-Hajj: 40].
Sebagian besar pakar tafsir dan fikih berpendapat bahwa ayat yang berbunyi, “Tidak ada paksaan dalam agama,” [QS. al-Baqarah: 256] merupakan salah satu kaidah Islam terbesar dan merupakan salah satu rukun toleransi di dalamnya. Islam tidak membolehkan siapapun memaksa seseorang untuk masuk ke dalam agama tertentu, dan tidak membolehkan siapapun memaksa seseorang untuk keluar dari agama tertentu.
Untuk menjamin tidak adanya paksaan, Islam memerintahkan umat Muslim untuk kukuh menjaga keyakinan mereka dari rongrongan orang lain serta melakukan dakwah dengan hikmah (kebijaksanaan), maw’izhah hasanah (nasihat yang baik), serta mujâdalah bi al-latîy hiya ahsan (berdebat dengan cara terbaik).
Allah ‘Azza wa Jalla tidak membangun perintah keimanan di atas paksaan dan kekerasan, tetapi di atas keteguhan dan pilihan. Paksaan dalam hal agama merupakan sebentuk kebatilan dan dapat menghilangkan esensi makna ujian Allah terhadap hamba-hamba-Nya,
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ.
“Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir,” [QS. al-Kahfi: 29].
Keyakinan berada di dalam hati, makanya paksaan benar-benar tidak dibolehkan. Ayatullah Muhammad Hasan al-Thabathaba`i, pengarang kitab “Tafsîr al-Mîzân”, menganggap ayat “Tidak ada paksaan dalam agama,” [QS. al-Baqarah: 256] sebagai salah satu bukti bahwa Islam tidak disebarkan dengan pedang, paksaan, dan kekerasan.
Dengan demikian, tidak heran bila banyak pemikir Muslim yang berpendapat bahwa kebebasan berkeyakinan merupakan kebebasan paling dahulu, merupakan dasar bagi kebebasan-kebebasan yang lain, dan merupakan hak asasi pertama manusia. Terkait prinsip kebebasan berkeyakinan di dalam masyarakat Muslim, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: