Pertama, persamaan sebagai kaidah interaksi di dalam masyarakat Muslim. Di dalam al-Qur`an terdapat ayat yang memerintahkan umat Muslim untuk memerangi orang-orang non-Muslim, dan ada juga ayat lain yang berisi larangan paksaan dalam agama. Namun, bila dilihat konteksnya, ayat yang berisi perintah untuk memerangi orang-orang non-Muslim lebih bersifat khusus, misalnya kaum musyrikin Quraisy yang selalu mengganggu ketenangan umat Muslim dalam beribadah. Yang diperangi adalah prilaku buruk mereka yang gemar membuat keonaran, bukan keyakinan mereka. Karena Islam secara tegas melarang paksaan dalam hal beragama dan berkeyakinan.
Semasa hidupnya, Rasulullah Saw. tidak memerintahkan umat Muslim memerangi kaum kafir karena keyakinan mereka, malah beliau sering menjalin hubungan-hubungan perdamaian dengan kelompok-kelompok penganut dari agama-agama lain, seperti Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik dari penduduk Madinah yang bersahabat dengan umat Muslim di negara Madinah dalam satu kesatuan politik. Mereka menikmati hak-hak kewarganegaraan yang disertai kewajiban-kewajibannya, seperti melindungi Madinah dari serangan musuh, juga menjaga keyakinan masing-masing tanpa saling mengganggu.
Selain itu, Rasulullah Saw. juga menjalin perjanjian-perjanjian antara negara Madinah dengan kelompok-kelompok kaum musyrik Arab secara menyeluruh. Tidak ada niat dari beliau untuk menyemai permusuhan dengan mereka. Makanya, para ahli fikih berpendapat bahwa sebutan ahl al-dzimmah (kaum yang memiliki kehormatan) diperuntukkan bagi kelompok-kelompok selain umat Muslim, seperti kaum Yahudi, Nasrani, Shabi’ah, Majusi, dan kaum penyembah berhala. Mereka semua, di dalam lingkup negara Muslim, mendapat hak kewarganegaraan sama seperti yang didapatkan umat Muslim. Rasulullah Saw., selaku pimpinan negara, memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada mereka sebagai warga negara. Bagi beliau, persamaan adalah kaidah interaksi di dalam masyarakat Muslim.
Sebenarnya, istilah ahl al-dzimmah bukanlah sesuatu yang lazim digunakan di dalam pemikiran politik Islam terkait pembauran antarwarga dan negara yang dibangun di atas asas kewarganegaraan. Seluruh warga, tanpa memandang agama dan keyakinannya, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan adanya nilai kebebasan berkeyakinan dan pluralitas keagamaan, dalam perjalanan sejarah, berbagai keyakinan dan agama tauhid, bahkan paganisme sekalipun, dapat hidup tenang, aman, nyaman, dan damai di tengah masyarakat-masyarakat Muslim.
Maka tidak mengherankan bila di negara-negara Muslim terdapat banyak sekali rumah-rumah ibadah, seperti masjid, gereja, kuil, synagog, wihara, dan lain-lain. Bahkan ada di antaranya yang dibangun secara berdampingan. Di bawah naungan syariat Islam yang toleran, para penganut agama bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Bila suatu saat umat Muslim memerangi kelompok-kelompok keyakinan lain, itu bukan karena alasan keyakinan yang berbeda, melainkan karena diganggu ketenangannya.
Kedua, kebebasan menegakkan syiar-syiar agama. Islam memberikan tanggung jawab kepada para penganut agama/keyakian untuk membangun rumah-rumah ibadah dan syiar-syiar agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing guna menjaga pendapat publik dan perasaan masyarakat secara umum berdasarkan prinsip kebebasan beragama dan tanpa paksaan. Hal ini, paling tidak, bisa kita lihat dari wasiat-wasiat tegas para khalifah kepada para komandan pasukan perang supaya membiarkan dan tidak mengganggu orang-orang yang sedang khusyuk beribadah di rumah-rumah ibadah. Para khalifah membiarkan umat Muslim hidup berdampingan dengan orang-orang non-Muslim secara rukun dan damai.
Baca Juga: Toleransi Beragama dalam Perspektif Islam dan Bagaimana Implementasinya di Indonesia?