Janganlah sekal-kali kamu bermusyawarah dengan para perempuan, karena sesungguhnya pendapat mereka menyebabkan kekurangan, kehendak mereka menimbulkan keraguan. Butakanlah pandangan mereka dengan penutup apa yang kamu buatkan untuk mereka, sesungguhnya kerasnya tabir penutup atas mereka lebih baik bagimu daripada keragu-raguan, keluarnya mereka tidaklah lebih kalah dahsyatnya daripada masuknya seseorang yang tidak engkau percayai. Jika engkau mampu menjadikan mereka tidak mengetahuimu maka lakukanlah. Jangan engkau memberikan seorang perempuan sesuatu yang melebihi kapasitas jiwanya, sebab hal tersebut akan terlalu nikmat bagi keadaannya dan terlalu tenang bagi hatinya dan lebih lama menjaga kecantikannya, sesungguhnya perempuan adalah pembantu dan bukan kepala rumah tangga. Maka jangan mengembalikan kemuliaannya kepada dirinya dan jangan memberinya kemampuan untuk mengucapkan kata-kata kepada selainnya ketika dia berada di sampingmu.
Dan anehnya, pandangan semacam itu—yang menarik perhatian karena begitu banyak riwayatnya—telah tersebar bukan hanya pada satu masa dari masa-masa peradaban Arab, yaitu peradaban yang dinisbatkan kepada Islam sebagai agama yang senantiasa memberikan pandangan yang memuliakan perempuan sampai pada pandangan yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah manusia.
Bagaimana mungkin seorang muslim yang berakal akan mempercayai riwayat-riwayat seperti itu sedangkan ia mengetahui bahwa Islamlah yang telah menghentikan budaya penguburan bayi perempuan hidup-hidup, bahwa Rasulullah Saw. tidak mungkin akan meletakkan para Ummahât al-Mukminîn dan tidak juga para perempuan muslimah lain seluruhnya pada posisi seperti yang digambarkan oleh riwayat-riwayat tersebut dengan ungkapan-ungkapannya yang tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi perempuan?
Bagaimana seseorang yang berakal dapat percaya bahwa Umar ibn al-Khatthab ra. melarang pendidikan dan pengajaran tulis-menulis kepada perempuan sedangkan Rasulullah Saw. telah mengizinkan hal itu di masa beliau hidup?! Dan bagaimana dengan Umar yang ditentang oleh seorang perempuan di masjid dengan mengatakan, “Apakah engkau akan mengambil hak kami yang telah diberikan oleh Allah?” Kemudian Umar menjawab perempuan tersebut dengan perkataannya yang sangat terkenal, “Umar telah salah dan perempuan ini benar.”
Apakah dapat dibenarkan menurut akal tuduhan terhadap perempuan dengan mengatakannya tidak memiliki akal sekaligus menuduhnya sebagai tali-temali setan yang menyesatkan dengan tipu dayanya? Bukankah perempuan telah dibebani oleh Islam dengan kewajiban-kewajiban agama yang sama dengan apa yang dibebankan kepada laki-laki tanpa pembedaan?
Kalau perempuan memang kehilangan akal dan kemampuannya, lantas mengapa Islam memberinya hak untuk mengurus hartanya berapapun besarnya dan menjadikannya bebas merdeka dalam mengatur hartanya, baik untuk membeli maupun menjual, menghadiahkan ataupun mewasiatkan, memiliki dan mewakilkannya? Mengapa Islam memberi perempuan sebagian hak yang kita sebutkan pada masa ini, khususnya hak perempuan untuk menceraikan suaminya jika tidak mampu lagi mengarungi kehidupan bersamanya?!
Kenyataannya, riwayat-riwayat yang turut andil dalam mendistorsi gambaran perempuan dalam pikiran banyak orang sepanjang sejarah Islam adalah riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada cerita-cerita rakyat yang negatif, dan tidak diambil dari ajaran agama yang benar atau hakikat-hakikat peradaban Islam yang telah begitu maju dalam memberikan hak perempuan muslimah untuk berperan sama seperti laki-laki.
Cukuplah sebagai bukti kepalsuan gambaran yang mencakup pandangan diskriminatif terhadap perempuan adalah buku-buku tentang biografi kaum perempuan pada setiap cabang ilmu pengetahuan. Dimulai dari puluhan penyair, penyanyi dan sastrawan secara umum. Ditambah dengan para ahli zuhud perempuan, sufi perempuan, ahli hadits perempuan, ahli fikih perempuan dan—bukan yang terakhir—para penulis dan guru perempuan yang telah memperkaya khazanah peradaban Islam sekaligus menjadikannya sebagai asal dari kebangkitan modern di dunia secara keseluruhan.
Apakah mungkin bagi al-Sakhawi dalam “al-Dhaw` al-Lâmi’”, atau Ibn Hajar dalam “al-Durar al-Kâminah”, atau Ibn Rafi’ al-Salma dalam “Târîkh-u ‘Ulamâ`-i Baghdâd” dan banyak lagi selain mereka, yang menyebutkan berita-berita tentang para ahli hadits perempuan (yang mengajarkan hadits nabi)? Mereka tidak akan menyebutkannya kecuali karena mereka mengetahui warisan yang ditinggalkan oleh para tokoh perempuan tersebut, yang mana para ulama hadits membolehkan mereka meriwayatkan hadits dan mengajarkan pengetahuan yang benar tentang hadits shahîh dan dha’îf. Selain itu ada juga ensiklopedi para penyair perempuan dan biografinya serta buku seperti “Balâghât al-Nisâ`” karya Ahmad ibn Abi Thahir Thaifur dan selainnya dari para penulis lama yang menulis tentang kaum perempuan dalam peradaban Islam.
Dan bagi yang ingin tahu lebih banyak tentang hal itu hendaknya melihat sebagian karya para penulis modern. Misalnya buku-buku seperti “Masyâhîr al-Nisâ`” karya Muhammad Dzihni dan “A’lâm al-Nisâ` fî ‘Ulamâ`-i al-‘Arab wa al-Islâm” karya Umar Ridha. Semuanya adalah buku-buku yang menekankan peran besar kaum perempuan dalam Islam dan kedudukan mulia yang diberikan Islam kepada mereka sehingga menjadi ikon kemajuan serta mendorong mereka untuk berlomba-lomba dengan kaum laki-laki dalam menguasai ilmu pengetahuan sebagai bentuk sumbangsih bagi peradaban dunia.
Dari manakah datangnya gambaran palsu tentang perempuan tersebut? Bagaimanakah akumulasi periwayatan dan reproduksi ceritanya yang tidak lepas dari cerita yang dibuat-buat, kebohongan dan tuduhan tersebut terjadi? Kemungkinan besar dugaan adalah berasal dari takwil orang-orang berpikiran ekstrim yang telah disebutkan Ibn Qutaibah dalam pengantar ensiklopedi “‘Uyûn al-Akhbâr”. Maksudnya adalah orang-orang yang memutarbalikkan sebagian fakta kebenaran dalam ajaran agama, seperti kisah keluarnya Adam dari surga, dan meliputinya dengan cerita dan fakta yang mereka dapatkan dari warisan budaya rakyat yang telah lalu dan memasukkannya ke dalam Islam.
Mereka menambahkan ke dalam Islam hal-hal yang menjadi kelanjutan dari keyakinan-keyakinan Jahiliyah serta menguatkannya dengan riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan atau hadits-hadits, baik dengan cara melepaskan hadits tersebut dari konteksnya ataupun membuat hadits-hadits palsu. Tujuannya jelas, agar perempuan tetap berada pada derajat terendah dalam status sosial dan menekankan hegemoni laki-laki terhadapnya dengan sedikit sekali memasukkan kebenaran dan membuat banyak sekali kebatilan. Dari sinilah kemudian terjadi imperialisme terhadap perempuan secara terus-menerus dalam bentuk yang seburuk-buruknya.
Namun demikian, perempuan masih tetap menjalankan perannya sebagai ibu dan istri, terus berusaha semampunya, di bawah kekangan yang semakin bertambah dengan tersebarnya kefanatikan, berusaha untuk memberikan kontribusinya di dalam ranah pengetahuan, terus bermimpi untuk mengembalikan seluruh haknya yang pernah mereka dapatkan dengan kemuliaan Islam.[]
Baca Juga: Dibutuhkan Ulama Perempuan