Kehadiran media sosial telah mengubah cara manusia dalam mendapatkan informasi. Di era digital, manusia tidak lagi mencari informasi. Sebaliknya, informasi membanjiri ruang-ruang digital, ledakannya kerapkali menyisakan residu persoalan. Antara lain maraknya misinformasi dan disinformasi. Sehingga, penting kiranya masyarakat menjaga kewarasan berpikir dan bertindak dengan melakukan tabayyun digital.
Sekretaris Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (PP Muslimat NU), Dra. Hj. Arifah Fauzi, M.Si mengatakan, menjadi hal yang penting dan esensial bagi netizen untuk mampu ber-tabayyun, teliti dan hati-hati. Ketika menerima informasi serta mampu mengendalikan nafsu untuk menyebarkan informasi yang belum diketahui kebenarannya.
“Di era digital yang serba modern seperti sekarang ini biasanya kita kalau dapat info atau berita, yang bergerak itu memang tangan dulu, jari dulu. Jadi kadang langsung emosi, share, komentar atau balas tanpa dipikir terlebih dahulu dampaknya yang akan terjadi,” ujar Dra. Hj. Arifah Fauzi, M.Si di Bogor, Selasa (11/10/2022).
Menurutnya, selain teliti dan berhati-hati, masyarakat juga perlu memahami dampak dan akibat yang timbul jika netizen secara tidak bertanggungjawab asal menyebarkan informasi yang belum diketahui kebenaran dan dasarnya.
“Sebagai penerima informasi atau berita seharusnya dikroscek terlebih dahulu. Apalagi ketika kita mau share berita tersebut, maka kita harus berpikir lebih jauh tentang apa dampaknya untuk kita. Kalau kita tidak tahu secara detail tentang informasi itu lebih baik tidak menshare. Kita bertanggungjawab terhadap apa yang kita share,” jelas Arifah.
Anggota Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (Infokom MUI) ini, mengatakan sejatinya tabayyun memiliki makna penting agar umat senantiasa membiasakan diri mengklarifikasi atau mencari informasi yang sejelas-jelasnya dan sedetail-detailnya, Karena hal tersebut telah menjadi sebuah tanggung jawab bagi umat untuk meluruskan atau membagikan informasi tersebut.
“Kenapa tanggung jawabnya besar? Karena menebar suatu informasi yang belum jelas kebenarannya, ibarat menebar bulu, lalu mengumpulkannya kembali, maka tidak akan utuh kembali karena sudah tertiup angin. Ketika sudah tersebar maka tidak akan kembali dan tidak tahu sudah sampai mana bulu (informasi) tersebut,” ungkapnya.
Ia menilai, betapa besarnya tanggung jawab seseorang ketika menebar hoax atau informasi palsu. Karena apa yang sudah tersebar tidak bisa ditarik kembali. Hal ini tentunya sangat berbahaya, karena bisa menimbulkan perpecahan.
Oleh karenanya si pembuat dan penyebar hoax harus bisa menanggung akibatnya, tidak hanya di dunia tapi pertanggung jawaban dengan Tuhan karena telah membuat keonaran dan kerusakan di muka bumi.