Berikut ini adalah catatan sederhana untuk menjawab pertanyaan yang mengganggu saya selama ini: Kenapa gagasan Islam nusantara tampak seperti ide yang mendengung di dalam “echo chamber,” hanya dibahas oleh para pendukungnya saja, dan kurang mampu melintasi batas kelompok sendiri? Di kawasan Melayu, misalnya, ide ini kurang mendapatkan sambutan hangat. Kenapa?
Umat Islam di kawasan Melayu (meliputi Sumatera, Melayu, Patani, Banjar/Kalimantan, Makassar/Sulawesi, Mindanao/Filipina, dan Singapura) mengembangkan tradisi pengetahuan Islam yang khas dan amat kaya, yaitu apa yang disebut dengan “kitab-kitab Jawi.” Dalam gambar di bawah, saya cantumkan salah satu daftar kitab-kitab Jawi yg pernah terbit, karangan ulama nusantara di abad2 17, 18, dan 19.
Apa yang disebut kitab Jawi bukanlah kitab berbahasa Jawa, melainkan kitab-kitab berbahasa Melayu yang ditulis dengan “aksara Jawi,” yaitu aksara Arab yang dipakai untuk menulis kitab-kitab berbahasa Melayu. Ini untuk membedakan dengan “aksara pegon” yang dipakai untuk menulis kitab-kitab berbahasa Jawa atau Sunda (terima kasih kepada Prof. Oman Fathurahman yang telah memberikan info mengenai pembedaan antara dua aksara ini). Sistem penulisan aksara Jawi, bagi santri Jawa seperti saya, bisa amat membingungkan, sebab ia berbeda sekali dengan aksara pegon. (Contohnya ada dalam gambar di bawah, yaitu bagian yang saya garis-bawahi).
Kitab-kitab Jawi itu, terus terang, banyak sekali dan amat kaya. Ada seorang mahasiswa Indonesia di Kairo (saya lupa namanya) yang sekarang mulai mengumpulkan karya-karya itu kembali. Sebagian besar karya-karya ulama nusantara berbahasa Melayu itu memang terbit di Kairo dan Beirut, selain Singapura.
Salah satu kitab Jawi yang amat masyhur adalah Tarjuman al-Mustafid karya Syekh Abdur Rauf Singkel (Aceh) (w. 1693). Kitab ini, saya kira, merupakan kitab tafsir tertua yang pernah ditulis di bumi nusantara. Ia merupakan ringkasan dan ramuan dari tiga kitab tafsir: al-Baidlawi, al-Khazin, dan Jalalain. Kitab Jawi lain yang amat penting adalah kitab fiqh bermazhab Syafi’i, Sabil al-Muhtadin, karya Syekh Arsyad al-Banjari (w. 1812). Sementara kitab Jawi yang amat penting disebut juga adalah al-Durr al-Nafis karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari yang hidup sezaman dengan Syekh Arsyad al-Banjari. Kitab ini, walau hanya ringkas, tetapi rumit dan kompleks karena memuat ikhtisar dari ajaran-ajaran Ibn Arabi mengenai “ilmu wujud”. Saya menganggap, kitab ini adalah satu dari karya terbaik yang pernah ditulis ulama nusantara mengenai ajaran Ibn Arabi (terima kasih kepada Dr. Ali Ali M. Abdillah yang telah menarik perhatian saya pada kitab ini).
Kitab-kitab Jawi ini hampir seluruhnya (jika malah tidak semuanya) ditulis oleh ulama Sumatera, Patani, Banjar, dan Malaysia. Sebagian besar berkenaan dengan tasawuf, fiqh, Qur’an/tajwid, hadis, dan mawa’iz (pitutur). Di antara kitab-kitab itu, dalam observasi sekilas saya (mungkin saya keliru!), jarang yang berkenaan dengan ilmu-ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah, dan manthiq). Apakah ini menandakan bahwa pengajaran ilmu alat di kawasan Melayu tidak seintensif di pesantren Jawa saat ini, wallahu a’lam.