Tetapi, saya sekarang mulai melihat perbedaan penting antara dua “kultur pengetahuan” di Jawa/Sunda dan Melayu. Di Jawa/Sunda, ilmu alat menjadi ilmu primadona, selain, tentunya, fiqih. Di kawasan Melayu, ilmu yang dipandang primadona adalah tasawuf dan fiqih. Mungkin kesimpulan ini terlalu dini. Perlu penelitian lebih lanjut. Di kawasan Melayu, pengetahuan Islam diajarkan melalui kitab-kitab berbahasa Melayu, sementara di Jawa yang dominan adalah kitab kuning berbahasa Arab. Istilah “kitab kuning” jelas sangat khas Jawa dan Sunda. Istilah itu, setahu saya, tidak dipakai di kawasan Melayu.
Melihat fakta-fakta sejarah seperti ini, sekarang saya mulai paham, kenapa umat Islam di Sumatera dan Melayu kurang bersemangat untuk menyambut wacana Islam nusantara yang diusung oleh kiai-kiai dan intelektual NU. Salah satu sebabnya, mungkin, karena mereka memiliki “tradisi pengetahuan Islam” sendiri yang sangat kaya dan menjadi kebanggaaan umat Islam di sana. Tradisi keilmuan ini ditulis dalam bahasa Melayu. Wacana Islam nusantara tampaknya sejak awal kurang memperhitungkan tradisi keilmuan ini. Islam nusantara dipandang hanya mempromosikan tradisi keilmuan ala pesantren Jawa yang memakai kitab kuning itu.
Saya kira, kita harus mulai mempertimbangkan keberatan semacam ini.
Wallahu a’lam.