Salah satu kritik keras terhadap Pendidikan umum adalah ketidakseimbangan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan. Pendidikan kita, demikian bunyi kritiknya, lebih fokus pada aspek pengetahuan, aspek-aspek lain sering kali terabaikan. Akibatnya, lahir lulusan yang memiliki pengetahuan yang tinggi tapi defisit sikap dan keterampilan.
Di Pesantren, dalam hemat saya, pengetahuan, sikap, dan keterampilan ini lebih seimbang. Pembelajaran tidak hanya di ruang kelas dan berlangsung secara formal. Pembelajaran juga terjadi di luar kelas melalui pengajian-pengajian baik di masjid, musholla, maupun bahkan di kamar yang dipimpin oleh kepala/ketua kamar.
Materi pelajaran sebagian langsung dipraktikkan, sebagian disesuaikan dengan tradisi-budaya pesantren. Yang langsung dipraktikkan seperti menghormati ilmu pengetahuan, guru dan orang tua. Buku (terutama Kitab Kuning), misalnya, tidak dibawa dengan penuh penghormatan: digendong (seperti gendong anak) agar tidak sejajar dengan pantat.
Demikian juga penghormatan kepada guru. Kitab ta’limul muta’allim bukan hanya dipelajari, tetapi juga dipraktikkan. Sikap menunduk di hadapan guru dan cium tangan guru adalah salah satu wujudnya.
Sebagian pengetahuan itu disesuaikan dengan tradisi-budaya pesantren. Ada banyak contoh tentang hal ini. Mereka belajar bahwa makna jihad dalam kitab-kitab itu al-qital (membunuh), dan seringkali yang menjadi objek adalah orang-orang kafir. Namun, materi pelajaran tersebut tidak seketika dipraktikkan dengan turun ke lapangan mencari orang-orang kafir untuk dibunuh.