kerusakan alam bukan sekedar persoalan teknis, melainkan krisis ontologis dan epistemologis—krisis tentang cara manusia memahami realitas
Di era modern ini, manusia membanggakan pencapaiannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari kecanggihan kecerdasan buatan, eksplorasi ruang angkasa, hingga manipulasi genetik, sains seolah menjadi jawaban atas semua persoalan hidup. Manusia saat ini tengah menyaksikan kemegahan peradaban dari kemampuan akal pikirannya yang dahsyat.
Namun, di balik gemerlap pencapaian tersebut, krisis ekologis dan kehampaan spiritual justru semakin mencuat. Banjir, kekeringan, krisis iklim, hingga kerusakan moral dan alienasi manusia dari alam menjadi paradoks di tengah “kemajuan”. Manusia seolah menjadi terasing dalam kemajuan yang sedang dibuat.
Apa persoalan yang terjadi? Banyak kalangan yang kemudian menggerakkan kampanye kepedulian atas krisis lingkungan. Dalam ranah agama, kita sudah lama mendengar gerakan eko-teologi, green religion dan sebagainya. Namun, apakah hal itu cukup menjawab persoalan?
Inilah yang sejak lama dikritisi oleh pemikir Muslim terkemuka, Seyyed Hossein Nasr. Ia tidak berangkat dari dampak yang terjadi, tetapi menyelidiki akar persoalan yang menjadi penyebab utama. Kritik yang diarahkan bukan pada aspek pragmatis, tetapi fondasi kritik filosofis terhadap paradigma berpikir manusia modern. Dengan kata lain, kerusakan alam bukan sekedar persoalan teknis, melainkan krisis ontologis dan epistemologis—krisis tentang cara manusia memahami realitas.
Ilusi Netralitas Sains: Ketika Alam Dikosongkan dari Makna
Menurut Nasr, akar krisis ekologis dan spiritual modern tidak bisa dilepaskan dari desakralisasi alam yang dibawa oleh sains modern. Alam yang dulunya dipandang sebagai ciptaan Ilahi yang penuh makna simbolik dan spiritual, kini direduksi menjadi sekadar objek mekanistik yang bisa diukur, dimanipulasi, dan ditaklukkan.
Duduk perkara sebenarnya adalah bagaimana kita memandang alam semesta. Cara pandang inilah yang menciptakan revolusi pengetahuan yang luar biasa dalam sejarah peradaban manusia. Menyingkirkan kesucian alam dan hubungan tak terpisahkan alam dengan manusia menjadi loncatan besar dalam terciptanya sains dan teknologi modern.
Sains modern—terutama sejak era Newton dan Descartes—memandang alam sebagai mesin raksasa yang tunduk pada hukum-hukum deterministik. Dalam pandangan ini, tidak ada lagi tempat bagi dimensi metafisik atau makna spiritual dalam semesta.
Akibatnya, pandangan yang semata-mata materialistik ini menyingkirkan sakralitas dari realitas. Hubungan manusia dan alam menjadi timpang: manusia merasa sebagai penguasa yang sah atas alam, bukan sebagai bagian darinya yang harus hidup selaras dan bertanggung jawab.
Pengetahuan yang lahir dari sains modern bersifat kuantitatif, terpisah dari nilai-nilai suci dan moral. Alam kehilangan ruhnya—ia tidak lagi menjadi “ayat-ayat Tuhan” yang mengarahkan manusia pada perenungan dan kesadaran ilahiah. Alam hanya obyek dari pengetahuan saintifik yang layak dieksplorasi dan dieksploitasi.
Manusia sebagai Pusat, Tuhan Tersingkir
Krisis ini semakin dalam karena dalam paradigma sains modern, manusia dijadikan pusat pengetahuan dan keberadaan. Akal dianggap sebagai otoritas tertinggi, sementara wahyu dan tradisi dipinggirkan. Ini menghasilkan apa yang disebut Nasr sebagai “kejatuhan manusia ke bumi yang baru”—dunia yang dibayangkan sebagai tempat kebahagiaan karena dikuasai akal dan teknologi, namun sejatinya adalah dunia ilusi, karena manusia telah kehilangan keterhubungan dengan surga, tempat kebahagiaan hakiki.