Dalam pandangan Nasr, keterpisahan manusia dari Tuhan adalah sumber dari keterpisahannya dengan alam. Tanpa akar spiritual, manusia kehilangan kearifan dalam memperlakukan alam. Ia lupa bahwa akal bukanlah alat utama untuk menguasai, melainkan untuk memahami dan menundukkan diri pada kebesaran ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, krisis lingkungan bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis ontologis dan epistemologis—krisis tentang cara manusia memahami realitas.
Sains modern, menurut Nasr, hanya mampu menjelaskan realitas fisik yang bisa diukur dan dimatematikakan. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna, tujuan, dan nilai dari keberadaan. Akibatnya, pengetahuan yang dihasilkan menjadi fragmentaris dan terpecah-pecah. Alam tidak lagi dipahami secara holistik sebagai satu kesatuan simbolik yang saling terhubung, melainkan dipandang sebagai bagian-bagian terpisah yang bisa diutak-atik sesuka hati.
Inilah akar dari banyak kerusakan alam yang kita saksikan hari ini. Ketika alam dilihat tanpa nilai dan makna, maka tidak ada lagi batas etis dalam mengeksploitasinya. Pengetahuan yang terpisah dari nilai menghasilkan kekuasaan yang buta.
Jalan Pulang: Kembali ke Pengetahuan Suci
Nasr menawarkan jalan keluar yang radikal, namun mendesak: mengembalikan dimensi sakral dalam sains dan kehidupan. Ini bukan berarti menolak sains modern, tetapi menyadarkan kembali manusia akan pentingnya pengetahuan yang terhubung dengan kearifan spiritual.
Bersama tokoh seperti Huston Smith, Nasr menegaskan perlunya “pengetahuan tradisional”—yakni pengetahuan yang berakar pada wahyu, tradisi, dan pandangan dunia yang melihat alam sebagai ciptaan yang sarat makna. Alam harus dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari ayat-ayat Tuhan yang harus dirawat oleh manusia.
Dalam kerangka ini, manusia tidak lagi menjadi penguasa atas alam, melainkan khalifah yang bertugas menjaga dan merawat ciptaan Tuhan. Alam bukan objek eksploitasi, tetapi medan spiritual yang mengarahkan manusia pada pencipta-Nya.
Kritik Nasr sangat relevan untuk konteks hari ini, ketika umat manusia dihadapkan pada kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan bumi. Krisis ini tak bisa diatasi hanya dengan teknologi hijau atau kebijakan lingkungan semata, tetapi menuntut perubahan paradigma yang mendasar. Kita harus kembali menyatukan sains dan spiritualitas, akal dan wahyu, manusia dan alam, demi menyelamatkan tidak hanya bumi, tetapi juga makna hidup itu sendiri.
Jika manusia modern ingin menemukan kembali kebahagiaan yang sejati, maka ia harus pulang ke asalnya—yakni kepada pengetahuan suci yang telah lama dibuangnya.