Bagaimana cara kita membacanya? Begini : Jika mungkin ada entitas (x) yang merupakan Tuhan (G), maka pastilah ada entitas tersebut secara niscaya.
Hal yang harus dicatat, tentu saja, pembuktian Gödel ini bukan pembuktian ilmiah dalam pengertian eksperimen laboratorium, melainkan pembuktian logis. Dengan kata lain, bila kita menerima semua premisnya (terutama bahwa eksistensi adalah sifat positif), maka secara struktur logika, kesimpulan bahwa “Tuhan itu pasti ada” adalah sah dan tak terbantahkan dalam sistem itu.
Apresiasi, Kritik Hingga Pengujian AI terhadap Gödel
Pendekatan Gödel ini dianggap revolusioner karena membawa isu spiritual ke wilayah rasional, bahkan matematis. Ia menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan tak harus hanya soal iman buta, tetapi bisa dijajaki melalui akal dan logika murni.
Namun, sejumlah filsuf tetap mengkritik premis-premis dasarnya—terutama asumsi bahwa “eksistensi” adalah sifat positif. Pandangan ini tidak disepakati semua aliran filsafat. Selain itu, pembuktian logika ini tetap tidak memberikan bukti fisik tentang keberadaan Tuhan.
Yang mengejutkan, pada tahun 2013, dua ilmuwan komputer asal Jerman, Christoph Benzmüller dan Bruno Woltzenlogel Paleo, menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memverifikasi bukti Gödel dengan program pembuktian logika otomatis, yaitu LEO-II dan Isabelle.
Mereka memasukkan seluruh argumen formal Gödel ke dalam sistem komputer dan memeriksanya satu per satu. Hasilnya: logika Gödel terbukti sah secara formal.
Dengan kata lain, bukan hanya manusia yang menganggap logika Gödel valid, tapi juga mesin logika yang bekerja berdasarkan algoritma objektif. Ini adalah momen penting di mana sains komputer dan filsafat metafisika bersatu, menunjukkan bahwa pembuktian ketuhanan bisa ditelusuri lewat pendekatan rasional formal.
Membaca Resonansi Gödel dalam Teologi Islam
Menariknya, dalam tradisi teologi Islam (ilmu kalam), pendekatan untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui logika dan sifat-sifat positif sudah berlangsung jauh sebelum Gödel. Dalam akidah Ahlussunnah wal Jamaah, dikenal konsep 20 sifat wajib bagi Tuhan, seperti wujud (ada), qadim (tidak bermula), baqa’ (kekal), mukhalafatu lil hawadits(berbeda dengan makhluk), dan seterusnya.
Selain itu, terdapat pula 20 sifat mustahil, yaitu sifat-sifat yang tidak mungkin dimiliki Tuhan, seperti mati (mautun), butuh Ihtiyaju Lighairihi, tidak kekal (fana’), dan sebagainya. Ini merupakan bagian dari usaha sistematis teologi Islam untuk menyusun konsep Tuhan secara rasional dan konsisten, agar keyakinan umat Islam terhadap Tuhan tidak semata-mata emosional, tetapi juga berdasar akal.
Apa yang Gödel lakukan sebenarnya memiliki resonansi filosofis dengan warisan kalam ini—bedanya, ia membungkusnya dalam bahasa logika simbolik dan matematika murni. Gödel membuktikan bahwa iman dan rasio bukanlah dua kutub yang selalu bertentangan. Keduanya bisa berdialog, bahkan saling menguatkan.
Dalam dunia yang semakin rasional dan saintifik, terkadang dibutuhkan pendekatan seperti Gödel untuk mengingatkan bahwa bahkan pertanyaan tertua dalam sejarah manusia—“apakah Tuhan itu ada?”—masih bisa dijajaki melalui jalan logika, bukan sekedar keimanan membabi buta.
Seperti dalam tradisi kalam Islam, semua pembuktian logis ini tidak dimaksudkan untuk menggoyahkan apalagi menggantikan iman, melainkan sebagai penguat bagi mereka yang mencari kedalaman intelektual dalam keimanan.
Dan ketika bahkan komputer pun menyatakan bahwa logika eksistensi Tuhan itu valid, kita boleh bertanya ulang: mungkinkah keyakinan kepada Tuhan justru paling masuk akal ketika dibuktikan dengan nalar yang jernih?