Islamina.id – TAKFIR adalah senjata propaganda modern yang digunakan oleh al-Qaeda, ISIS, dan organisasi-organisasi Islam lain, yang asal-usulnya sudah berakar sejak lama. Untuk lebih memahami istilah ini, kita perlu menelisik akar-akarnya hingga ke abad ke-7 M, yaitu pada masa eksisnya kelompok Khawarij dan Marji`ah.
Kaum Khawarij muncul selama perang Shiffin pada 675 M, ketika khalifah keempat Ali ibn Abi Thalib berselisih dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan. Dalam perang tersebut, pasukan Muawiyah menawarkan kepada Ali dan pasukannya untuk menerima arbitrase antara kedua pihak. Ali menerima tawaran tersebut, tetapi sekelompok orang dari pasukannya menolak keras. Mereka berpikir bahwa Ali telah menyimpang dari jalan Allah, dan meyakini bahwa tindakannya tersebut adalah penghinaan terhadap perintah Allah, sehingga mereka kemudian memisahkan diri dari pasukan Ali. Sejak saat itu kelompok tersebut dikenal dengan sebutan Khawarij.
Pemikiran ideologis kelompok ini terfokus pada kecenderungan revolusi terhadap para penguasa Muslim yang dianggap tidak berislam secara kaffah. Ketika Ali menerima tawaran arbitrase dari Muawiyah, sekelompok orang yang memisahkan diri dari pasukannya ini, yang kemudian dikenal sebagai Khawarij, meneriakkan, “Lâ ilâha illâ Allâh, wa al-hukm li Allâh Wahdah fahasbu,” (Tidak ada Tuhan selain Tuhan, hukum hanya milik Allah saja).
Belakangan, kaum Khawarij bergerak menuju penerapan hukum-hukum al-Qur`an dengan sangat ketat, yang mendorong mereka memerangi “Muslim pelaku dosa” (al-muslim al-mudznib) karena dianggap kafir dan karenanya harus dimusnahkan dari masyarakat. Selanjutnya, setelah menganggap “Muslim pelaku dosa” sebagai kafir, mereka segera menerapkan ayat-ayat al-Qur`an tentang “jihad melawan non-Muslim”. Artinya, menurut kaum Khawarij, penerapan jihad tidak terbatas hanya pada pembunuhan para pelaku dosa dari kalangan masyarakat biasa, tetapi juga khalifah, yang menjadi alasan mereka membunuh Ali ibn Abi Thalib pada tahun 661 M.
Doktrin Iman dan Kufr menurut Khawarij
Doktrin lain dari ideologi Khawarij adalah mengenai konsep “iman” dan “kufr” (kekafiran). Apakah iman itu? Kapan seorang Muslim menjadi kafir? Pada masa itu, perdebatan terjadi seputar apakah “perbuatan” (al-‘amal) harus dianggap sebagai bagian dari iman atau tidak. Dengan kata lain, apakah iman hanya terbatas pada hati dan lidah saja, atau juga pada perbuatan? Sebagian kelompok, seperti Hanbaliyah dan Mu’tazilah, menganggap perbuatan sebagai bagian integral dari iman, dan karena itu, iman tidak sempurna tanpa perbuatan.
Sementara Hanafiyah menilai bahwa iman hanya terletak di dalam hati dan lisan, dan bukan di dalam perbuatan. Adapun kaum Khawarij, mereka percaya bahwa hati, lisan, dan perbuatan seluruhnya menunjukkan keimanan seorang Muslim, sehingga mereka menganggap bahwa ketiga komponen ini adalah standar untuk membedakan orang mukmin dari orang kafir. Oleh karena itu, kaum Khawarij menilai bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa adalah kafir karena perbuatannya itu merusak iman di dalam hatinya.
Di lain pihak, para sarjana Sunni membagi dosa menjad dua macam, yaitu dosa besar (al-kabâ`ir) dan dosa kecil (al-shaghâ`ir). Dari sini kaum Khawarij mengklasifikasikan sejumlah perbuatan yang bisa dianggap sebagai dosa besar, di antaranya: membunuh, berzina, menyembah berhala, atau syirik (politeisme). Mereka membedakan syirik dari dosa-dosa besar lainnya, dan memandang bahwa setiap perbuatan yang mengarah kepada kesyirikan dapat langsung mengubah seorang Muslim menjadi kafir dan keluar dari Islam.