“Tuhan bukanlah penguasa yang memaksa, tapi kekuatan yang menarik kita lewat cinta.”
Kementerian Agama Republik Indonesia tengah menggagas sebuah program yang menarik, Kurikulum Cinta. Gagasan ini bertujuan untuk menanamkan nilai cinta kepada Tuhan, sesame manusia dan lingkungan dari bangku sekolah. Sebuah terobosan yang luar biasa dalam mendesain pengetahuan anak sejak dini yang selama ini dipenuhi dengan fenomena intoleransi, kekerasan, dan saling membenci atas nama perbedaan.
Saya tidak ingin berkomentar jauh tentang rencana kurikulum ini yang sedang dibangun dengan seksama dan sistematis oleh Kementerian Agama, tetapi saya ingin memberikan catatan reflektif dengan mengulas beberapa pemikiran penting. Kurikulum cinta tentu bukan sebuah materi pelajaran baru, tetapi proses mengintegrasikan nilai-nilai cinta dalam seluruh proses belajar mengajar di sekolah berdasarkan nilai agama.
Kenapa agama dan Kementerian Agama harus memulai dengan cinta?
Saya teringat dengan salah satu buku John D Caputo, The Future of Religion (2005) yang diterjemahkan oleh Mizan dengan judul yang sangat menarik, Agama Cinta, Agama Masa Depan. Caputo bukan sekedar teolog, tetapi filusuf yang terpengaruh oleh gaya berpikir postmodernisme, khususnya Derrida. Buku ini merupakan hasil dialog Caputo dengan filsuf Italia Gianni Vattimo yang disunting secara apik oleh Santiago Zabala.
Agama Lahir dari Cinta
Caputo menawarkan sebuah pendekatan baru dalam melihat agama, sekaligus mengandung beberapa kritik tajam dan lugas terhadap kondisi agama saat ini. Agama lahir dari cinta. Tuhan yang Maha Cinta dan beragama hanya untuk bagi pecinta. Inilah agama masa depan yang diidamkan oleh Caputo. Agama yang tidak dibangun atas dasar kekuasaan dan dogma, tetapi melalui cinta dan pengalaman eksistensial yang memukau.
Cara berpikir dekonstruktif ala Derrida telah dipakai Caputo sejak awal. Derrida yang membongkar klaim-klaim absolut dalam teks dan ideologi, termasuk agama, dipinjam Caputo ke dalam ranah teologi. Ia membedakan antara agama (religion) sebagai sebuah institusi yang cenderung dogmatik, ekslusif dan tertutup dengan relijius (the religious) sebagai pengalaman dinamis yang terbuka. Agama bukan tumpukan dogma, sistem teologi tertutup, sistem hukum, dan ritual formalistik, tetapi resonansi hati manusia terhadap panggilan cinta dan keadilan yang tak pernah selesai.
Dalam konteks ini, orang beragama bukan mereka dalam arti para penganut ajaran secara dogmatis, para pembela ajaran agama yang rigid, atau mereka yang berkoar-koar paling dekat dengan Tuhan sehingga mengabaikan hak orang lain. Orang beragama adalah mereka yang memiliki sebentuk iman cinta yang tidak menindas, tidak mendiskriminasi orang lain dan tidak memiliki kebenaran final dalam perjalanan keagamaannya.
Cara berpikir ini sangat penting digunakan dalam mendekonstruksi arti kesalehan yang sudah lumrah dipahami masyarakat. Orang yang shaleh bukan dilihat dari penampilan dan atribut keagamaan yang melekat, tetapi dari pengahayatan dan tindakan relijius yang dilakukan. Kesalehan beragama bukan sekedar dalam arti hubungan personal dengan Tuhan, tetapi kesalehan sosial, bahkan kesalehan ekologis adalah paket penting dari kriteria relijius. Mendekonstruksi pemahanan anak sejak dini bahwa yang shaleh adalah semata yang memegang tasbih, pergi ke masjid, menjalankan kewajiban ritual mutlak harus dilakukan.
Saleh dalam beragama berarti pula anak yang gemar membantu orang lain, tidak mencaci orang lain, senang berbagi dengan yang membutuhkan, mengasihi tanpa melihat batas keyakinan dan terpenting pula anak yang rajin menjaga kebersihan lingkungan dan keindahan alam. Itulah makna saleh hasil dekontsruksi pemahaman ketaatan tradisional yang harus dikenalkan kepada anak sejak dini.
Dalam buku ini saya tertarik untuk mengulas sedikit salah satu sub judul yang provokatif tentang dua “Nabi zaman sekuler” yang dikutip Caputo; Kierkegaard dan Nietzsche. Tentu saja, pengertian Nabi ini tidak dalam arti istilah tradisional dalam sejarah agama wahyu, tetapi keduanya dimaknai sebagai pewarta yang membongkar ilusi agama institusional dengan mengungkap kedalaman eksistensial manusia.
Caputo mengagumi Kierkegaard sebagai tokoh yang memulihkan iman sebagai perjuangan personal dan paradoksal. Melalui gagasan “lompatan iman,” Kierkegaard memperlihatkan bahwa iman sejati tidak pernah mudah, karena justru muncul dalam ketegangan, ketakutan, dan absurditas. Ibrahim adalah manusia yang mengalami proses lompatan iman yang luar biasa sehingga menghasilkan iman yang begitu kokoh. Iman Ibrahim tidak lahir dari dogma, tetapi proses pencarian dari keraguan, keingintahuan dan membentuk iman yang kuat.