Tentu saja kita ingat Nietzsche dengan proklamasi “Tuhan telah Mati”. Pernyataan ini tidak bisa dipahamai sebagai deklarasi ateisme, tetapi dentuman keras untuk meruntuhkan singgasana agama institsuional. Caputo menafsirkan kalimat provokatif itu sebagai panggilan untuk membebaskan spiritualitas dari kekakuan moral dan institusional. Nietzsche mendorong manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru, dan dalam hal ini Caputo melihat kemungkinan kelahiran agama cinta tanpa Tuhan hegemonik.
Apa poin penting dari agama yang lahir dari cinta ini? Agama cinta sebagai agama masa depan harus berangkat dari membongkar cara pandang dan bentuk agama yang tertutup, menindas dan kehilangan semangat kasih universalnya di tengah semesta. Agama bukan sekedar kumpulan hukum, tetapi semesta kasih. Agama bukan institusi, tetapi gejolak hati. Agama bukan dogma, tetapi kerinduan. Dan agama bukan sesuatu yang final, tetapi proses tanpa henti yang mengandaikan keterbukaan.
Inspirasi penting dari The Future of Religion -nya Caputo bahwa agama masa depan bukan soal klaim kebenaran yang keras, tetapi tentang saling mencintai, berharap kepada keadilan yang belum datang, dan tentang menghidupi iman di tengah ketidaktahuan dan luka dunia. Dalam dunia yang plural dan terpecah, agama cinta adalah satu-satunya bentuk agama yang bisa bertahan, berkembang, dan memberi makna.
Menggagas Agama Cinta di Sekolah
Dalam konteks dunia pendidikan, agama cinta memberikan inspirasi penting dalam merumuskan “kurikulum cinta”. Kurikulum ini bukan sekedar kumpulan materi hafalan dan capaian kognitif , tetapi proses membentuk manusia dengan karakter penuh kasih, terbuka, kritis, dan berani berharap.
Kurikulum cinta mengandaikan lompatan pemikiran keagaman dari konstruksi kesalehan tradisional menuju kesalehan yang lebih terbuka. Ia harus Mengajarkan penghormatan terhadap keragaman (agama, budaya, pendapat), mengembangkan kesadaran akan tanggung jawab etis terhadap sesama dan lingkungan, dan menumbuhkan semangat harapan di tengah luka dan ketidakpastian zaman.
Kurikulum cinta harus memulai dengan mengajarkan siswa untuk mencintai “ketidaktahuan” sebagai awal pengetahuan. Pendiikan agama bukan takut terhadap keraguan dan khawatir terhadap keroposnya iman. Iman yang kokoh lahir dari cara berpikir reflektif dan kritis, bukan menghafal dogma dan manual ritual semata.
Beragama bukan diajarkan sekedar sebagai bentuk kepatuhan, tetapi panggilan etis dalam menerapkan cinta kasih. Kurikulum cinta harus menumbuhkan kesadaran universal umat beragama tanpa pandangan yang ekslusif dan segregatif. Mengajarkan agama bagi anak bukan untuk mencetak para penjaga kebenaran tunggal yang saling berkompetisi, tetapi mencetak anak yang bisa berkolaborasi dalam menjawab problem kemanusiaan dan lingkungan.
Ala kuli hal, kurikulum cinta dengan nilai agama cinta ingin membangun sekolah sebagai ruang aman untuk anak tumbuh dengan keimanan yang dinamis, kolaboratif dan empati. Bukan ruang bagi anak yang takut akan salah, tertekan dengan dogma yang memaksa, dan anak yang merasa paling benar dengan menyisihkan ruang nyaman bagi orang lain.
Buatlah ruang belajar yang mendorong anak merenung, mengungkapkan dan menulis pengalaman, kegelisahan dan harapan sebagai umat beragama. Buatlah proyek-proyek sosial yang mendorong anak mampu berkolaborasi dengan empatik baik dengan lingkungan sosial dan alam.
“Yang religius bukan soal kepatuhan, tapi soal kerinduan dan harapan.”