Pembicaraan seputar perempuan seolah-olah tak akan pernah habis dan bahkan kian menarik untuk diangkat dan didiskusikan sampai kapanpun. Pasalnya, kendati zaman telah berubah, namun ada yang masih sama, yaitu pandangan bahwa perempuan adalah sosok makhluk ciptaan Tuhan yang menjadi titik lemah bagi keimanan. Juga masih melekatnya pandangan sikap misoginis dan citra negatif: perempuan lemah, tidak pantas berkiprah di ruang publik, sebagai pelengkap penderitaan, dan lain-lain.
Ironisnya, pandangan negatif terhadap sosok perempuan tersebut telah menjadi paradigma yang mengakar kuat di tengah masyarakat. Bahkan, dijadikan sebagai suatu legitimasi atau pembenaran bagi kalangan laki-laki serta masyarakat pada umumnya; perempuan lebih rendah dari laki-laki, baik dari segi fisik maupun kapasitas keilmuan. Akibatnya, perempuan lebih banyak dipingit dalam rumah serta nasibnya seakan ditentukan oleh struktur dominasi pria. Hal ihwal juga berlaku dalam urusan rumah tangga.
Lantas pertanyaan yang muncul kemudian, dari manakah pandangan dan argumen tersebut berasal? Atau, apakah memang sudah menjadi suratan takdir bahwa seorang perempuan pantas atau layak direndahkan, tidak dihargai, dan lain-lain? Dari pertanyaan ini, tentu saja, kita bisa menduga perihal stereotip tersebut, salah satunya yakni ditopang oleh doktrin agama yang diyakini sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa diotak-atik, apalagi diubah dan dikritisi.
Salah satu bagian dalil dari ayat Al-Quran yang acap dikutip untuk menunjukkan serta memperkuat argumentasi ihwal derajat laki-laki lebih tinggi (superior) daripada derajat para perempuan (inferior) adalah bagian dari Surat al-Nisa’ ayat 34, yang berbunyi:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. al-Nisa’: 34)
Lafaz Qawwamun, kebanyakan mufasir klasik mengartikannya sebagai pemimpin, penanggung-jawab, penguasa, pelindung, dan sejenisnya. Argumen yang dikemukakan ihwal kepemimpinan laki-laki atas perempuan ini, adalah karena seorang laki-laki memiliki kelebihan ketimbang perempuan. Dari sini, dapat dipahami bahwa pernyataan Tuhan tersebut merupakan sesuatu hal yang pasti dan tak bisa diubah. Sehingga memunculkan sikap misoginis dan kesewenang-wenangan terhadap perempuan.
Selain itu, mereka juga sering kali merujuk pada salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang berbunyi: “Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita”. Menurutnya, hadis ini secara tegas dan lugas melegalkan perintah akan larangan kepada seorang perempuan untuk memimpin suatu negeri.