Dengan pemahaman yang demikian, agama (Islam) seolah-olah menjadi dasar utama untuk menyudutkan kaum perempuan dan melanggengkan budaya patriarki. Akibatnya, menimbulkan ketidakidealan agama dalam menjalankan fungsinya sebagai Hudan Linnas (petunjuk bagi umat manusia) serta penopang dalam menegakkan kemaslahatan bagi umatnya.
Bertolak dari cara pandang inilah, patut kiranya menelisik kembali tentang asal-usul budaya patriarki terhadap perempuan yang sampai kiwari masih ekses dan mengakar kuat di tengah masyarakat, walaupun zaman telah berubah dan berkembang cukup pesat. Alih-alih banyak perempuan yang telah memainkan peran penting di ruang publik dan pemerintahan, justru pandangan miring terhadapnya semakin merebak dan melekat dalam diri kebanyakan masyarakat.
Asal-Usul Budaya Patriarki
Menarik, mengakarnya cara pandangan seperti ini di tengah masyarakat, tidak terkecuali di lingkungan umat Islam sendiri, sejatinya merupakan akibat dari hegemoni masyarakat pra-Islam. Seperti diketahui bersama bahwa sejak zaman dahulu (sebelum adanya Islam) posisi perempuan secara sosial sangat tidak dihargai dan tidak memiliki kebebasan. Artinya, para perempuan kala itu tidak dapat memainkan peranan yang independen, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun politik.
Pun, dalam status perkawinan perempuan tampak lebih buruk kala itu. Sebab, ia harus hidup dengan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari sepuluh. Bahkan, yang membuat lebih tragis nasib perempuan adalah keadaan adanya perempuan tersebut dijadikan anggapan sebagai beban hidup serta pelengkap penderitaan. Di masa jahiliyah misalnya, apabila lahir seorang anak perempuan, maka bayi tersebut dikubur hidup-hidup karena dianggap aib keluarga. Sungguh ironis nasib perempuan pada masa ini. Seolah-olah tak memiliki ruang sedikit pun kecuali sumur, kasur, dan dapur.
Argumen sejarah ini diperkuat oleh pendapat Amin Abdullah yang menyatakan, bahwa adanya ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki, pada hakikatnya hanyalah merupakan hegemoni sejarah kaum jahiliyah yang kerap dan senang menggambarkan kedudukan dan posisi seorang perempuan dalam tatanan sosial secara tidak adil, tidak setara, bernuansa diskriminatif, dan lain sebagainya.
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan, pandangan yang menganggap laki-laki superior dan perempuan inferior disebabkan karena faktor kedangkalan pengetahuan akan ilmu agama, serta kekeliruan dan kesalahan dalam memahami dan menafsirkan teks agama. Karena itulah, tidak jarang agama (Islam) acap dijadikan sebagai justifikasi dan tujuan yang tidak dibenarkan, bahkan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Baca Juga: Kedudukan Perempuan di dalam Islam