Pada artikel seri kedua ini, keabnormalan islamisasi tanah Jawa tentang problem aliran yang dianut oleh warga pribumi. Aliran ini terkenal menyeramkan, sampai-sampai Sunan Bonang pun dibuat repot oleh mereka. Ritual-ritualnya pun sekarang dimodifikasi menjadi bagian dari culture and religion Islam Indonesia.
Sebelum upaya islamisasi Nusantara, ada satu sekte atau aliran dari Siwa-Budha yang terkenal menakutkan pada masa pra-Islam. Aliran ini dikenal dengan nama Bhairawa Tantra. Penganut Bhairawa ini mulai menyebar di bumi Nusantara sekitar abad ke-7 M.
Dalam prasasti Talang Tuo Palembang (bertahun 684 M), ditemukan tulisan Vajrasarira yang berarti “berbadan baja” dan dapat disamakan dengan pengawakbraja dalam bahasa Jawa (Mukaffa, 2017). Bisa dikatakan ajaran Bhairawa Tantra dari Siwa-Buddha ini telah masuk di tanah air melalui Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 M. atau sebelum kerajaan Majapahit berdiri (Widnya, 2008). Namun, belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai waktu aliran ini masuk ke kawasan Nusantara (Soediman, 1977).
Sekte Bhairawa muncul pada abad ke-6 di Benggala Timur (sekarang negara Bangladesh). Mereka menyebar ke utara melalui Tibet, Mongolia, kemudian importasi ke Tiongkok dan Jepang. Persebaran ke timur juga hadir di Nusantara. Sekte ini timbul di Sumatra pada abad ke-11, kemudian menyebar ke timur sampai ke Jawa. Pada masa Singasari, aliran ini semakin meluas dan muncul kembali di Sumatra pada masa Adityawarman (Putri, 2016).
Lalu kenapa aliran Bhairawa Tantra ini bagian dari representasi “menakutkan”?. Secara teori, ada lima subjek ajaran dalam aliran ini, diantaranya penciptaan, dan penghancuran alam semesta, pemujaan dewa dan dewi, pencapaian kekuatan gaib, dan penyatuan dengan Yang Maha Tinggi (Ariati, 2016). Pada kenyataannya kandungan Tantra hampir seluruhnya bersifat magis dan mistis.
Seperti agama-agama yang lainnya. Dalam aliran ini juga terbagi menjadi dua, “Tantra Kanan” dan “Tantra Kiri”. Adapun yang memang lebih radikal adalah Tantra Kiri. Mereka antinomianisme atau menyimpang dari esensi ajaran agama. White dalam “Tantra in Practice” menunjukkan bahwa ritual keagamaan yang dilakukan aliran ini dengan sesuatu yang dilarang dalam agama yang disebut Panca Tattva atau Pancamakara (White, 2000).
Bagi sekte ini, untuk mendapatkan pembebasan spiritual tertinggi dan abadi, harus melakukan Pancamakara (lima tahapan ritual). Lima tahapan ritual dimaksud meliputi matsya (memakan daging), mudra (biji-bijian kering), mada (meminum minuman keras), mantra (nyanyian mantra Tantra khusus), dan maithuna (hubungan seksual) (Kinsley, 1982). Tradisi keagamaan ini menjadi bagian penting dari ibadah para penganut Bhairawa Tantra yang dikenal luas dalam agama Hindu-Budha.
Santiko pada jurnal yang berjudul “Agama dan Pendidikan Agama Pada Masa Majapahit”, menjelaskan kalau penganut Bhairawa melakukan tapas yang sangat keras, menghuni ksetra (kuburan), menjalankan korban diri sendiri, memakan daging manusia atau binatang, serta meminum darah (Santiko, 2012). Pada kitab “Tantu Panggelaran” yang menceritakan tentang tokoh-tokoh penganut agama Bhairawa digambarkan bahwa: