Maka tidaklah mengherankan, manakala si-anak mengidentifikasi bapak/ibunya seperti itu. Jangan salahkan jika anak curiga, bermushuan pada agama lain. Berbeda halnya jika dididik, diberi pemahaman inklusivisme dan pluralisme, anak tidak akan mempersoalkan perbedaan keyakinan, ideologi diantara teman-temannya. Disinilah letaknya taghayyur al-ahkam bi al-taghayyur al-azminati wa al-amkaniyah. Keluarga dan lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap anak.
***
Karena itulah, John Hick sebagaimana yang dikutip oleh Walter H. Capps dalam Religious Studies, The Making of a Discipline (1995, hlm 267) mengatakan bahwa “if someone is born to Muslim parents in Egypt or Pakistan, that person is very likely to be a Muslim, if to Buddhist parents in Sri Lanka or Burma, that person is very likely to be a Buddhist; if to Hindu parents in India, that person is very likekly to be a Hindu; if to Christian parents is Europe or the Americas, that person is very likely to be Chistian”. Keluarga, lingkungan sangat menentukan terhadap keyakinan seseorang. Maka dari itu, untuk membangun sikap inklusivisme dan pluralisme harus dimuali dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Kendati Islam kita berbeda antara yang satu dengan yang lain, bukan berarti diantara pemahaman tersebut tidak menemukan titik temu. Titik temu inilah yang akan menentukan apakah seseorang itu masih Islam atau sudah keluar dari Islam, kafir, murtad. Titik temu ini adalah sebuah maenstrim. Inilah letaknya universalitas Islam. Semua orang sepakat bahwa Islam mengajarkan kebajikan, perdamaian, kerukunan, persamaan dan keadilan. Kekerasan, diskriminasi adalah larangan Tuhan. Dalam hal teologi, Tuhan adalah satu, Muhammad adalah sebagai media antara manusia dengan Tuhan, Rasul. Dan, Al-Qur’an merupakan sumber hukum, ajaran dan moral baik diranah teologis maupun sosiologis. Kesemua itu merupakan titik temu diantara pemahaman kita yang berbeda-beda tentang Islam.
Perbedaan pemahamaan tentang Islam tidak harus menjadi persoalan serius selagi bisa dipertemukan. Muhammadiyah tidak lantas menyalahkan Nahdlatul Ulama. Begitu pula sebaliknya. Pertentangan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang selama ini terus berlangsung hanyalah pada persoalan lahiriyah, furu’iyah, bukan subtansi. Seharusnya, perbedaan itu diramu menjadi sebuah kekayaan khazanah dan pengetahuan, sehingga Islam senantiasa menemukan konteksnya dalam setiap ruang dan waktu (shalihun fiy kulli zamanin wa makanin). Islam tidak bisa ditafsirkan secara monolitik, tunggal. Sebab, Islam mengenal konteks dan langgam sosial-budaya-politik tertentu. Maka memahami Islam secara kaku, eksklusif, monolitik adalah mendistorsi Islam itu sendiri. Islam adalah agama yang luwes, fleksibel.
Jika demikian, kekerasan, peperangan, ketidakadilan merupakan tindakan yang bertentangan dengan Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang jihad, amar ma’ruf nahi munkar yang seringkali dijadikan legitimasi bagi kekerasan juga harus diterjemahkan ulang.
Sumber: Media Indonesia