Bulan September menjadi bulan istimewa yang selalu diingat oleh masyarakat Indonesia. Rekognisi sejarah masa lalu patut dijadikan rujukan bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu, peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI) adalah sejarah kelam. Di mana banyak dari ulama dan santri dari Nahdlatul Ulama (NU), TNI, dan pendukung PKI menjadi korban.
Dalam buku Benturan NU-PKI: 1948-1965, Mun’im memberikan gambaran jika reaksi yang dilakukan oleh NU terhadap PKI sebagai akibat yang ditimbulkan dan menjadi logis dan sistematis (Mun’im, 2013). NU memiliki prinsip:
Setiap bughat (makar) harus ditindak.
PKI melakukan bughat.
Maka PKI harus ditindak.
Prinsip NU tersebut merupakan bagian kenapa NU tidak selaras dengan gerakan PKI baik secara nasional maupun di daerah-daerah.
Dramatisasi PKI
Apa yang menyebabkan PKI menjadi perhatian dunia dan juga dilabeli sebagai ‘korban’? Tidak sedikit peneliti sejarah — baik dari Indonesia, orientalis, dan Belanda — yang menuliskan sejarah bahwa golongan yang kontra dengan PKI sebagai pelaku dan dituduh harus bertanggung jawab atas tragedi G30S/PKI. Hal ini diperkeruh oleh para aktivis hak asasi manusia dengan politisi, peneliti, dan media asing. Mereka mendramatisir jumlah korban dari pihak PKI yang mencapai jutaan orang.
Seperti Ben Anderson yang memperkirakan jumlah korban PKI sebanyak 500.000 sampai 1.000.000 orang. Datanya kemudian dijadikan rujukan oleh para cendekiawan dan jurnalis internasional. Sehingga menimbulkan perspektif bahwa timbul rasa simpati terhadap PKI dan menyalahkan pelaku — baik dari unsur NU maupun TNI — tanpa peduli atas aksi kekejaman PKI selama ini (Mun’im, 2013).
Jumlah korban itu dibantah oleh pandangan dalam negeri. Versi Bung Karno sendiri melalui Komando Operasi Tertinggi (KOTI) memperkirakan jumlah korban yang jatuh hanya sekitar 60.000 orang. Lalu terjadi penyelidikan lanjutan sehingga berjumlah 87.000 orang.
Hermawan Sulistyo menemukan 11.256 sampai 17.260 orang. Sampel data yang dihimpun dipusatkan pada daerah dengan tingkat resistensi PKI yang tinggi yaitu Jombang dan Kediri. Ia juga memperkirakan di daerah lain tidak sebanyak dari dua kota tersebut (Sulistyo, 2011).
Dramatisasi jumlah korban lain dilakukan oleh peneliti asing adalah tidak melihat sisi korban dari ulama dan rakyat yang dibantai oleh PKI. Mereka tidak komprehensif melihat peristiwa. Mulai dari Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa sepanjang tahun 1950 sampai tahun 1968. Dari pihak TNI juga tidak diungkap oleh mereka. Hingga akhirnya dramatisasi jumlah korban PKI mendapatkan atensi dari dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Perbedaan yang Nyata
Sejak munculnya PKI, memang banyak sekali perbedaan dengan umat Islam khususnya warga Nahdliyin dari aspek filosofis dan ideologis. Budaya impor yang ditawarkan oleh Barat adalah konsep materialisme, yang menganggap suatu realitas hanya diukur dari benda (materi). Selain itu atau di luar materi (imateri), tidak dianggap (Fanasyev, 1950).
Logika ini yang menegaskan bahwa pengusung komunisme juga penganut ateisme. Sedangkan Islam merupakan agama yang wajib percaya adanya Ketuhanan Yang Maha Esa, adanya alam gaib dan akhirat, dan hidup setelah mati. Beragama juga mempunyai tuntunan (syari’at) guna menjalankan kehidupan di dunia dan akhirat.
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Khutbah Iftitah pada Muktamar NU ke-14 di Madiun, menegaskan akan ancaman ajaran materialisme – ateisme bagi bangsa Indonesia. Pola yang dilakukan oleh PKI yakni gencar mengkampanyekan ingkar terhadap agama (Asy’ari, 1947).
Para ulama sadar bahwa jangan mudah terkecoh oleh iming-iming pengusung komunisme. Lebih lanjut, KH. Saifuddin Zuhri dalam sebuah tulisannya bahwa:
Dengan dalil: Agama sebagai unsur mutlak dalam nation building maka kita dapat menyingkirkan kiprah PKI di mana-mana. Bahkan kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang melahirkan komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme dan fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan menggunakan kekerasan dan senjata, tetapi harus dihadapi dengan kesadaran agama
Apa yang terpikirkan oleh KH. Saifuddin Zuhri tersebut, sangatlah jelas akan bahayanya ateisme (Zuhri, 2013).
Langkah NU Menghadapi G30S/PKI
Tanggal 1 Oktober 1965, jarum jam menunjukkan pukul 12.30. Siaran RRI menyuarakan bahwa dibentuk Dewan Revolusi yang diketuai oleh Letnan Kolonel Untung. Isi siarannya mengafirmasikan dirinya sebagai pemegang kekuasaan negara.