Pada hari itu pula, para Kyai pemimpin tertinggi NU seperti Rais ‘Am KH. Wahab Hasbullah dan Wakil Rais KH. Bisri Sansuri sedang berada di rumah Nyai Sholihah Wahid Hasyim di Jalan Amir Hamzah, Jakarta. Mereka memantau keadaan dan membaca rangkaian situasi. Akhirnya PBNU menyimpulkan bahwasanya dalang dibalik peristiwa Gerakan 30 September adalah PKI. Kemudian PBNU mengeluarkan pernyataan: Pertama, mencela dengan keras tindakan perebutan kekuasaan oleh apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”. Kedua, menolak dan menentang pembentukan “Dewan Revolusi”.
Dugaan semakin kuat ketika surat kabar Harian Rakjat — terbit 2 Oktober 1965 — pada kolom editorial telah mengakui berupa pernyataan tegas dukungan pada gerakan 30 September untuk menyelamatkan revolusi dari kup yang akan dilakukan Dewan Jenderal (Mun’im, 2013). Untuk itu, NU segera menyusun langkah untuk menghadapi situasi krisis.
Selain PBNU, ternyata para pengurus NU wilayah dan cabang melakukan pertemuan di lokasi masing-masing. Hasilnya juga mengerucut bahwa aksi kudeta kemarin itu bukan lain adalah PKI (Wilis, 2011). Dalam waktu singkat, PBNU dan seluruh pucuk pimpinan badan otonom NU mengeluarkan instruksi atau pernyataan tegas menuntut agar PKI dan semua ormasnya dibubarkan.
Pernyataan NU tersebut cukup berani dan penuh risiko, lantas banyak juga dari partai dan organisasi lainnya mengikuti langkah NU. Circle politik dalam negeri mendengar tuntutan PBNU dan Ormasnya, secara tersirat menggambarkan sudah saatnya jihad terbuka melawan PKI. Hingga posisi PKI semakin terpojok.
Rekonsiliasi NU-PKI: Alami dan Humanis
Konflik NU dengan PKI merupakan konflik horizontal. PKI sangat agresif menyerang NU baik dari ajaran agama, merampas tanah, pertanian, merusak masjid, pesantren, dan membunuh para Kyai selama beberapa dekade (Mun’im, 2013). Sebaliknya, NU memiliki dasar syar’i membela Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah dan dalam tataran siyasi (politis) membela ideologi Pancasila.
Pasca konflik selesai, dengan NU dan TNI sebagai pemenang, tidak ada bukti atau perasaan benci oleh PKI. Faktanya, beberapa pasukan Ansor yang ikut menumpas orang-orang komunis, datang ke rumah untuk bertakziyah dan membacakan tahlil. Bahkan, para korban PKI seperti janda dan anak yatim, serta orang-orang yang salah tangkap, disantuni, dilindungi, dan diberikan pendidikan oleh masyarakat NU dan Pesantren di lingkungannya.
NU juga menekankan aspek dekomunisasi dan pembinaan. Orang-orang yang pernah menjadi anggota PKI tidak seluruhnya sadar atau dengan kemauannya sendiri. Mereka terjerumus dalam bujukan sehingga menjadi aktivis PKI. Inilah yang masih ditolerir dan dapat disadarkan kembali.
Referensi:
Mun’im, D.Z, Abdul. Benturan NU-PKI 1948 – 1965. Jakarta: PBNU. 2013.
Sulistyo, Hermawan. Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang- Kediri). Jakarta: Pensil 234. 2011 VA. Fanasyev. Marxist Philosophy. Moscow: Foreign Language Publishing House, 1950 Wilis, Abdul Hamid. Aku menjadi Komandan Banser. Trenggalek: Public policy Institute, 2011.
Zuhri, Saifuddin. Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2013.
Naskah Khutbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU ke 14 di Madiun 1947.