Sebagai bangsa yang masyarakatnya majemuk dengan berbagai perbedaan menjadikan Indonesia negeri yang besar dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Masih sering kita menyaksikan gesekan-gesekan akibat perbedaan cara pandang dalam masalah keagamaan di masyarakat. Hal tersebut tak ayal dapat mengganggu bahkan merusak kerukunan antar umat beragama yang merupakan pondasi utama persatuan dan kesatuan negara yang plural dan besar seperti Indonesia ini.
Dalam beberapa contoh kasus misalnya, pada suatu waktu ada umat beragama yang membenturkan pandangan keagamaannya dengan budaya dan kearifan lokal yang sudah terawat dan dilestarikan sejak zaman dahulu. Di waktu yang lain, kita disibukkan dengan penolakan pembangunan rumah ibadah agama tertentu oleh pemeluk agama mayoritas di wilayah tersebut. Meskipun secara perizinan ataupun bahkan secara konstitusi pembangunan rumah ibadah tersebut tidak dilarang bahkan dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang. Konflik horisontal antar masyarakat pun pada akhirnya tidak bisa dihindarkan.
Dalam kasus lainnya, masyarakat atau umat beragama tertentu di Indonesia masih saja menyibukkan diri dengan penolakan terhadap kepala administrasi suatu wilayah atau daerah karena alasan tidak seiman. Padahal, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden sekalipun dalam Undang-undangnya tidak ditentukan atau diatur harus dari agama atau golongan tertentu.
Selain itu, yang lebih membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni adanya sekelompok orang ingin merubah konsensus Negara Kesatuan Republik Indonesia ini menjadi sebuah negara agama tertentu. Atas dasar keyakinan mereka bahwa konsep negara yang telah dirawat oleh segenap bangsa ini merupakan suatu kesalahan, kebatilan, bahkan dosa besar karena tidak sesuai dengan ajaran agama versi yang mereka pahami.
Lebih awal dari konsep negara agama yang dikehendaki oleh sekelompok orang tersebut, dulu juga sempat terjadi sebuah peristiwa pemberontakan G30S PKI untuk merubah konsensus NKRI ini menjadi sebuah negara komunis, karena menurut pentolan-pentolan Komunis Indonesia pada gerakan tersebut, Indonesia harus menjadi negara tanpa kelas agar dapat mengenyahkan perbedaan antara rakyat (buruh, petani) dan kaum borjuis (para tuan tanah, kaum kapitalis) di Indonesia.
Kedua kelompok pembangkang negara tersebut pada dasarnya bertujuan sama, yakni ingin merubah konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia —tetapi sesuai dengan konsep ideologi mereka— dan sama-sama merupakan gerakan transnasional yang dibawa dari luar dan disebarkan kepada masyarakat Indonesia. Supaya ada rasa simpati dan menyepakati konsep-konsep yang mereka bawa tersebut.
Pada titik yang paling ekstrem, ada pula seruan atas jihad (kaum jihadi) agama untuk mengkafirkan sesama bahkan membunuh (menghunus pedang, memenggal kepala, bahkan melakukan bom bunuh diri) untuk menumpas orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Mereka menganggap hal tersebut adalah sebuah kewajiban dan kehalalan.
Semua yang disebutkan di atas merupakan kenyataan yang tengah kita hadapi bersama-sama. Keberagaman cara pandang dan pemahaman beragama tentu merupakan muara dari itu semua. Kita atau negara sekalipun tidak akan bisa menyamakan atau menyatukan cara pandang umat beragama di Indonesia. Sementara itu, fakta lain mengenai ‘klaim kebenaran’ setiap masing-masing pemeluk agama terkadang juga bisa menyebabkan gesekan, konflik, dan perpecahan antar saudara sebangsa dan setanah air.
Moderasi Beragama sebagai Jawaban dan Jalan Tengah
Lantas bagaimana cara agar persoalan-persoalan yang telah tersebut dapat teratasi? Lalu, Adakah jalan keluar tanpa memarjinalkan peran agama untuk menyelesaikan hal-hal yang merupakan faktor penghambat terwujudnya kerukunan antar beragama tersebut?
Hal tersebut yang harus kita jawab dan selesaikan bersama-sama. Mengingat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan heterogen. Banyak sekali keragaman yang ada di Indonesia, keragaman bahasa, keragaman suku-budaya, dan keragaman agama dan kepercayaan semua ada di Indonesia. Atas latar belakang heterogenitas bangsa Indonesia tersebut patutnya harus dikedepankan sebuah prinsip atau konsep yang mampu mengurai ketegangan antar umat beragama. Konsep ‘Jalan Tengah’ tanpa memarjinalkan peran agama juga peran negara, mengingat negara kita dipersatukan atas dasar Pancasila dan jargon Bhinneka Tunggal Ika-nya.
Konsep ‘Jalan Tengah’ tersebut adalah berupa konsep yang mampu melebur cara pandang yang kaku konservatif atau ekstrem daripada pemikiran dan pemahaman pemeluk agama agama menuju pemikiran yang toleran, terbuka, moderat, dan luwes, karena pada hakekatnya adalah mengamalkan kebaikan, cinta dan kasih sayang antar sesama manusia, serta menghindari perpecahan dan permusuhan, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Namun kadangkala, penginterpretasian yang salah kaprah dari para pemeluk agama-lah yang menyebabkan perpecahan antar pemeluk agama atau keyakinan di negara yang multireligi dan multikultural ini.
