Belakangan ini Pemerintah, khususnya Kementerian Agama tengah mengkampanyekan konsep Moderasi Beragama sebagai konsep ‘Jalan Tengah’ agar persoalan persoalan keagamaan di Indonesia dapat terselesaikan. Penulis sendiri pun sepakat dan mengamini konsep moderasi beragama ini sebagai jalan menuju kerukunan antar umat beragama yang paripurna. Karena menurut penulis hanya dengan berkarakter moderat dalam beragama bisa menghilangkan atau melebur cara pandang yang kaku, eksklusif, ekstrem, dan serba tekstual dalam memahami ajaran ajaran agama.
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud moderasi beragama tersebut? dan bagaimana pengimplementasian konsep moderasi beragama ini dapat diwujudkan secara konkret?
Bila merujuk pada pengertian secara umum moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Moderasi beragama berarti bersikap moderat, serta mengedepankan esensi beragama yakni bahwa agama mengarkan cinta, kasih sayang, dan perdamaian.
Ekstrimisme, radikalisme ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antar umat beragama adalah persoalan yang kini tengah dihadapi bangsa kita. Tanpa menerapkan konsep moderasi beragama akan sulit bagi kita menghilangkan persoalan tersebut.
Mengutip dari buku Moderasi Beragama yang diterbitkan Kementerian Agama RI, dijelaskan bahwa moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain.
Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terwujudnya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Upaya selektif pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keobjektifan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam keharmonisan.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan, karena pada esensinya beragama itu berarti menebar damai, menebar kasih sayang, kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun. Beragama bukan berarti menyeragamkan keragaman, tetapi untuk menyikapi keragaman dengan penuh kearifan, karena agama hadir untuk menjamin dan melindungi harkat, martabat, dan derajat kemanusiaan.
Lukman Hakim Saifudin, mantan Menteri Agama RI, dalam prolognya di buku Moderasi Beragama mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa heterogen, awalnya para pendiri bangsa telah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya.
Sudah mufakat bahwa Indonesia bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama tetap dijaga, kemudian dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama, dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.
Langkah selanjutnya dari pada konsentrasi beragama ini adalah pengimplementasian dalam konteks kehidupan sehari-hari. Hal yang perlu kita pahami bersama, konsep moderasi beragama ini membutuhkan suatu wadah yang mampu mengakomodir konsep tersebut sedini mungkin, agar konsep moderasi beragama ini tidak hanya sekadar slogan dan di kemudian hari esensinya hilang dan hanya seperti buih tak berarti sedikitpun. Bila perlu konsep moderasi beragama ini patut dijadikan sebuah kurikulum atau pedoman agar benar-benar menjadi pondasi awal pembentukan karakter beragama seseorang.