Islam Liberal memaknai agamanya sesuai dengan paradigma (manhaj) yang dibangunnnya. Begitu pula dengan Islam fundamentalis. Dua paradigma antara tekstual dan kontekstual di atas akan semakin nampak manakala diterjemahkan pada tingkat praksis. Kalangan fundamentalis menyakini agama melalui seruan jihadnya dengan pedang, bom atau senjata yang siap dihunuskan kepada musuh-musuhnya. Kekerasan baginya merupakan jalan satu-satunya untuk melawan kalangan tertentu yang dianggap musuh. Sementara Islam liberal (atau Islam subtantif) memaknai agamanya penuh dengan kesantunan, dan pesan perdamaian dan anti kekerasan, sehingga segala bentuk kekerasan dianggap menyalahi agamanya. Maka, konfrontasi antara dua aliran keagamaan ini tidak terbendung lagi.
Sebenarnya, dua pola pemikiran keagamaan di atas dalam studi pemikiran Islam, bukanlah hal baru. Sejak awal-awal pertumbuhan Islam, dua paradigma tersebut muncul sebagai upaya memahami kehendak Tuhan. Munculnya aliran dalam teologi Islam, madzhab-madzhab dalam fikih bisa dijadikan referensi bahwa Islam ketika menyejarah kebenarannya bersifat partikular dang sangat historis.
Bahkan perbedaan pandangan dalam memahami pesan Tuhan sudah terjadi sejak masa Muhammad. Namun perbedaan itu bisa diminimalisir, karena Muhammad merupakan pemegang otoritas dalam memahami ide Tuhan. Sikap Muhammad ketika menghadapi perbedaan itu sangat toleran dan inklusif.
Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi dua arus pemikiran di atas ? Apakah kita hendak mengikuti salah satunya atau justru kita ke luar dari salah satu paradigma pemikiran di atas. Atau perlukah memunculkan aliran baru yang bisa mempertemukan dan mengadili dua paradiga tersebut, sehingga pandangan-pandangan kontroversial tidak lagi bercokol di muka bumi ini ?.
Maka untuk menyikapinya dua paradigma berfikir diatas (manhaj al-fikr), kita patut menyegarkan kembali ingatan kita pada ungkapan ulama salaf “ra’yuna shawab yahtamilu al-khatha’, wa ra’yukum khatha’ yahtamilu al-shawab” [Pendapat kami adalah benar, tapi mempunyai potensi untuk salah dan pendapat Anda salah, tapi mengandung kemungkinan untuk benar].
Jadi, potensi benar sama dengan potensi untuk salah baik pada Islam liberal ataupun Islam fundamentalis. Islam Fundamental tidak selamanya salah dan keras, dan islam liberal tidak seterusnya benar. Kedunya Karena itulah dua paradigma pemikiran keagamaan di atas harus didudukkan secara sejajar. Islam liberal tidak diposisikan sebagai paradigma yang lebih unggul, dan begitu pula sebaliknya, Islam fundamental tidak berarti lebih superior dari Islam liberal.
Seharusnya, munculnya perbedaan (ikhtilaf) pandangan patut disambut dengan baik dan arif, bukan memaki salah satunya. Sebab, adanya keragaman pemikiran merupakan bukti bahwa Islam (Islam yang saya maksud adalah Islam in mind yang menyejarah, bukan Islam sebagi teks) sangat bermacam-macam tergantung orang yang memahaminya. Jika arif dalam memandang adanya kepelbagaian pandangan, maka tidak akan mengklaim salah satu diantaranya sebagai kebenaran mutlak.
Karl. Popper dengan teori falsifikasinya mengatakan, kebenaran baru dianggap benar manakala ada celah untuk menyalahkannya. Sebab menyalahkan salah satunya merupakan bentuk dari sikap ekstrem.
Perbedaan pemahaman itu adalah wajar, sejauh tidak saling menyalahkan antara yang satu dengan lainnya, membenarkan hanya pendapatnya yang benar serta tidak bertindak anarkis dan destruktif. Ketika perbedaan tersebut berakibat pada pengrusakan, pengeboman, pembakaran dan kekerasan lainnya, di saat itupula kekerasan atas nama agama semakin menjadi-besar.
Kekerasan akan dibalas dengan kekerasan pula, begitu seterusnya, dimana kekerasan setelahnya akan lebih dahsyat dari yang sebelumnya. Mendikotomikan dua kerangka berfikir di atas untuk mencari-cari pada siapa kebenaran berpihak, adalah merupakan pekerjaan yang sia-sia dan semakin memperparah perdebatan di antara kedua kubu aliran di atas.
Ketidakarifan dalam memandang dua pola pemikiran keagamaan di atas, tidak saja berakibat pada pertentangan, adu argumentasi, adu kebenaran, tapi seringkali berujung pada pertengkaran fisik, pembunuhan. (Hatim Gazali)
Reference:http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/16/opi03.htm