“Disitulah kepentingan politik praktis yang membonceng entah itu sadar atau tidak sadar si khotib menyampaikan itu, entah dia bagian dari tim sukses atau tidak, entah dia mewakili kepentingan ideologi tertentu atau tidak. Apalagi kalau dia mewakili ideologi tertentu yang bertentangan dengan ideologi bangsa,” paparnya.
Ia mengatakakan, dalam mendengarkan khotbah umumnya pikiran jamaah itu dalam konteks kosong, fokus, gelas kosong yang diisi air. Sehingga isi ceramahi tu akan ditelan mentah-mentah karena disampaikan menggunakan mimbar agama sehingga seolah-olah itu pasti adalah bagian dari suara agama, padahal itu suara kepentingan.
“Maka di sinilah pentingnya kita sebagai jamaah yang mendengarkan khotbah, mendengarkan dakwah perlu untuk melihat siapa ini yang berdakwah, siapa dainya, siapa khotibnya dan lain sebagainya,” jelas Syarif.
Ia mengungkapkan saat adanya rilis soal ustaz radikal, dai radikal, khotib radikal, bahkan masjid radikal, pasti disambut ‘gemuruh’ suara pro dan kontra seolah-olah menjadi justifikasi bahwa ada Islamofobia, ada peminggiran peran umat Islam. Padahal faktanya memang hal tersebut diatas memang ada.
Syarif melanjutkan, kalau seseorang melabeli dirinya sebagai ustaz, tentu bicaranya dalam konteks agama. Pun kalau politisi, tentunya pasti bicaranya soal kepentingan politik dan itu tidak boleh dilakukan di mimbar dakwah.
“Tapi kadang-kadang di masjid atau di mimbar dakwah, ketemu dengan ustaz-ustaz yang mungkin tidak jelas ini posisinya, dia ini sebagai dai atau sebagai politisi atau sebagai tim sukses. Nah ini yang tentunya kita perlu hati-hati,” imbuhnya.
Sebenarnya, katanya, masjid atau mimbar dakwah keagamaan tidak pernah salah. Tetapi bagaimana orang-orang yang memanfaatkannya itu. Dan biasanya ada banyak aktornya, ada DKM, ustad, dan ada juga donatur. Bahkan kadang DKM dikendalikan dan atas pesanan donatur.
“Itu memang fakta yang tidak bisa kita pungkiri, tetapi memang tidak bisa fakta ini kita generalisasi. Tidak boleh mengeneralisir sesuatu yang sebetulnya bukan fenomena umat. Ada fenomena seperti itu, kita berbohong kalau kita mengatakan itu tidak ada,” tegasnya.
Lebih lanjut, Syarif mengajak semua pihak untuk memberi perhatian kepada masjid-masjid yang ada di lingkungan pemerintahan yang disitu menjadi tempat ASN beribadah. Jangan sampai khotib maupun sebagai penceramah, yang diundang justru yang selama ini bekoar koar menolak pemerintah, menolak Pancasila, menolak Undang Undang Dasar 1945, tidak mau hormat bendera Merah Putih, tidak mau menyanyikan Indonesia Raya, dan ideologi yang dia sampaikan dalam ceramahnya, dalam tulisannya ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa.
“Padahal ideologi Pancasila yang sudah disepakati oleh mayoritas umat Islam dimana para ulama juga ikut terlibat disitu. NU terlibat disitu, Muhammadiyah, MUI, ikut terlibat juga organisasi-organisasi yang moderat yang wasathiyah, tidak mempersoalkan Pancasila akrena memang tidak bertentangan dengan nilai nilai Islam,” jelasnya.
Untuk itulah, Syarif mengajak para dai dan penceramah wasathiyah untuk bersuara lebih kencang untuk menyuarakan naras-narasi keagamaan, narasi Islam rahmatan lil alamin agar narasi keagamaan yang berkembang bukan narasi yang dikuasai orang-orang yang sebetulnya minoritas tapi berisik.
“Sekarang ini jamannya bukan sing waras ngalah, tetapi sekarang jamannya yang waras harus bersuara. Jangan sampai kalah sama yang tidak waras,” pungkas Syarif Hidayatullah.