Sejak era reformasi tahun 1998, kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi sudah mulai digaungkan bahkan diberikan kelonggaran bagi setiap masyarakat Indonesia. Maka tidak heran jika Indonesia termasuk negara yang menganut dan menerapkan prinsip kebebasan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Hal itu merupakan langkah untuk memberikan ruang gerak adanya keragaman yang hakikatnya juga merupakan keniscayaan, sebagaimana firman Allah : “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat: 13)
Indonesia dengan berbagai kekayaan alam, manusia dan budaya yang dimiliki menjadi satu rumpun yang tak dapat dipisahkan. Keberagaman Indonesia yang begitu luas dan kaya merupakan sebuah aset bangsa yang tetap harus dilestarikan. Namun, semakin kesini sepertinya ada saja pihak yang ingin memecah-belah keutuhan NKRI dengan menebar ideologi yang dapat memporak-porandakan bangsa.
Dalam buku “Islam dan Kebangsaan” disebutkan bahwa ada dua bentuk radikalisme yang dapat dipilah menjadi dua bagian, pertama radikal dalam gagasan (radical in mind/fil-fikrah). Seperti gagasan yang ingin mengubah konsep dan wawasan negara menjadi negara yang tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia saat ini. Kedua radikal dalam gerakan (radical in action/fil-harakah), bentuk radikal seperti ini sudah dikategorikan sebagai makar karena sudah termanifestasikan dengan gerakan merubah bentuk sebuah negara.
Dilansir dari PPIM dan CONVEY Indonesia, Policy Brief Series issue 2, Vol. 2 tahun 2019. Dalam survey tersebut melaporkan seputar sikap keberagamaan guru di sekolah. Temuan survey menunjukkan bahwa guru di Indonesia mulai dari tingkat TK-SMA/SMK ternyata memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi. Ditemukan sebanyak 55,1% opini guru yang intoleran sedangkan gerakan aksi intolerannya mencapai angka 36,4%.
Kemudian sebanyak 46,4% guru memiliki pandangan keagamaan yang radikal dan ternyata tidak jauh beda dengan opini gerakan aksi mereka yang cenderung radikal, yakni mencapai 41,4%. Belum lagi jika dilihat dari sikap dan intensi guru terhadap pendirian negara Islam dan persoalan penerapan syariat Islam sebanyak 23,73% guru yang menyatakan hendak bergabung dengan kelompok yang sedang berjihad mendirikan sebuah negara Islam, baik itu di dalam maupun di luar negeri.
Jika di kalangan guru saja mudah terpapar radikalisme maka akan sangat mudah juga merambat ke anak didiknya karena pengaruh guru dalam membentuk sikap keberagaman siswa. Untuk meng-counter dua gerakan ini perlu adanya gerakan moderasi keislaman. Moderasi kian menjadi penting sebab berbagai paham, aliran, gerakan bahkan kelompok tertentu sedang maraknya menebarkan narasi-narasi takfiri (mengkafirkan orang lain), tadhlili (menyesatkan orang lain), hingga yang meganggap dirinya paling benar dan orang lain yang tidak memiliki gagasan yang sama dengannya sesat atau tempatnya di neraka. Hal ini menjadi PR bersama. Tidak hanya bagi pemerintah yang harus terlibat dalam melawan aksi-aksi gerakan radikal-intoleran yang sedang marak ditemukan, tetapi hendaknya keluarga dan masyarakat luas turut serta dalam menarasikan gerakan moderasi keislaman. Di samping itu juga perlunya sarana dalam mengedukasi masyarakat untuk menebarkan semangat moderasi Islam.
Cukup jelas di dalam sabdanya Nabi pernah berkata dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) dalam kitab Musnad bin Hanbal :
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidaklah demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada sipenuduh.” (H.R. Ahmad)
Prinsip dasar yang terkandung dalam hadis ini adalah kehati-hatian untuk menjatuhkan vonis kafir kepada sesama muslim. Imam Qadhi ‘Iyad mengatakan dalam kitabnya yang sangat terkenal, yaitu al-Syifa bi Ta’riif Huquuq al-Mushthafa. “Wajib menahan diri dari pengafiran para ahli takwil karena sungguh menghalalkan darah orang yang shalat dan bertauhid itu sebuah kekeliruan. Kesalahan dalam membiarkan seribu orang kafir itu lebih ringan daripada kesalahan dalam membunuh satu nyawa muslim.”