Seorang intelektual Islam modern mengatakan bahwa negara sekuler memungkinkan saya untuk menjadi Muslim seutuhnya serta taat pada ajaran agama dengan beribadah secara bebas tanpa larangan dan paksaan. Ia adalah Abdullahi Ahmed An-Naim, seorang pemikir Muslim kontemporer yang sangat menaruh perhatian pada konsep negara sekuler. Kebebasan, sebagai fondasi sekulerisme, menurutnya, merupakan salah satu aspek yang penting dalam implementasi syariat Islam.
Bagi sebagian Muslim, istilah “sekulerisme” mungkin sensitif. Muslim arus utama berkeyakinan bahwa Islam dan negara bangsa adalah satu kesatuan yang tak terelakkan, sebagaimana Rasulullah dan Negara Madinah. Banyak yang mempertanyakan konsep itu karena terlihat seperti mengucilkan identitas Islam dari realitas dunia modern. Tak sedikit yang khawatir bahwa sekulerisme akan menghilangkan identitas Islam dan tradisi ukhuwah Islamiyyah yang sarat dengan adanya jemaah.
Gejala penolakan ini sudah dibaca oleh An-Naim. Ia menjelaskan bahwa konsep sekulerisme-nya bertujuan semata untuk menyelesaikan isu internal Islam yang berhubungan dengan keberagaman di setiap negara dan hubungan negara Islam dan non-Islam. Re-interpretasi syariat Islam ini, tegasnya, berupaya mendukung terlaksananya ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamīn dan ṣālih likuli zamān secara totalitas tanpa melanggar hak orang lain dan pemeluk agama lain.
konsep sekulerisme-nya bertujuan semata untuk menyelesaikan isu internal Islam yang berhubungan dengan keberagaman di setiap negara dan hubungan negara Islam dan non-Islam.
An-Naim adalah satu dari sekian intelektual Muslim yang resah terhadap hadirnya kelompok konservatif yang hanya mau menerima otoritas generasi Muslim pertama. Menyikapi gerakan puritanisme itu, An-Naim menawarkan jalan keluar yang tetap dalam koridor Islam dengan cara mereformulasi prinsip-prinsip syariat dengan mencari ayat yang satu dengan ayat yang lain dengan memperhatikan memperhatikan sosial, budaya, agama, yang berbeda-beda dan hasilnya bisa diterima oleh berbagai kalangan.
Melalui penyikapan ini, An-Naim menawarkan negosiasi pemisahan yang tegas antara persoalan agama dan urusan kenegaraan. Oleh karena An-Naim sangat mengimpikan kebebasan sebagai fondasi awal, maka ia jelas mengedepankan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Biarlah agama-agama tumbuh subur di teritorialnya sendiri, seperti rimbunan aneka ragam tanaman di hutan belantara. Layaknya berbagai ekosistem yang hidup dalam hutan Pandora.
Dalam pengertian ini, An-Naim sebenarnya sedang membincang negara yang didominasi oleh elit politik konservatif. Afghanistan misalnya. Ia berkaca pada fenomena Taliban yang berambisi untuk “meng-Islam-kan” Afghanistan melalui rezimnya. Namun, alih-alih bisa merangkul semua identitas di dalamnya, “Islamisasi” ala Taliban ini justru melahirkan citra Islam yang represif dan diskriminatif dengan berusaha mengeliminasi kelompok dan gagasan lain yang berselisih dengannya. Melalui cerminan ini, solusi yang An-Naim berikan adalah kenetralan dan mediasi dalam bentuk konsep sekularisme.
Dalam benak An-Naim, negara tidak perlu mengintervensi apalagi mengatur kehidupan agama. Negara hanya bertugas menyejahterakan rakyat tanpa pandang bulu dan membawa embel-embel identitas agama tertentu. Gagasan An-Naim itu bukan berarti mendevaluasi prinsip syariat sebagai sistem normatif beragama umat Muslim, namun sebagai upaya antisipasi terhadap potensi munculnya dogma-dogma teologis-eksklusif yang pada akhirnya merusak prinsip negara bangsa yang demokratis.