Ia ingin mengatakan bahwa rezim dogmatis seperti Taliban atau ISIS hanya semakin mengikis nilai-nilai agama yang mereka bawa. Artinya, syariat hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya bukan melalui represi. Prinsip-prinsip syariat akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh penguasanya. Oleh karena itu, pemisahan Islam dan negara sangat diperlukan agar syariat bisa benar-benar bisa dijalankan secara paripurna dan merdeka.
An-Naim terus menegaskan bahwa Muslim hanya dapat “menjadi Muslim” berdasarkan keyakinan dan pilihannya sendiri. Karena itu, ketika kekuatan elit memaksakan syariat, hal itu pada dasarnya justru memasung kehidupan keagamaan seorang Muslim. Terkait dengan ini, negara sekuler menjadi solusi menurut An-Naim karena dapat menjamin dan menjadi penengah bagi kehidupan plural dalam masyarakat yang majemuk. Negara sekuler juga menggaransi perdamaian di dalam dan di antara komunitas-komunitas keagamaan, paling tidak menurut An-Naim.
Muslim hanya dapat “menjadi Muslim” berdasarkan keyakinan dan pilihannya sendiri. Karena itu, ketika kekuatan elit memaksakan syariat, hal itu pada dasarnya justru memasung kehidupan keagamaan seorang Muslim.
Menurutnya, syariat adalah persoalan hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya. Tujuan syariat Islam, menurutnya, adalah untuk mewujudkan rasa keadilan, humanisme, nasionalisme, prinsip non-diskriminatif, menghormati tradisi lokal, kesetaraan gender dan progresif. Dengan demikian, syariat Islam mensyaratkan keterbukaan dan toleransi.
Jika dibaca dalam konteks Indonesia, ide An-Naim ini memang terlihat “absurd”, sebab beberapa kerangka hukum dalam syariat Islam meniscayakan campur tangan negara, untuk mencegah terjadinya kekacauan. Dalam pelaksanaan hukum kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, talak, wasiat dan lain sebagainya, sulit rasanya membayangkan negara untuk tidak turut meregulasinya.
Di Indonesia, urusan pendidikan Islam, pernikahan, zakat, haji, pemakaman, wakaf dan sebagainya, selalu melibatkan campur tangan negara dan tampak tidak ada kendala berarti tentang itu. Jika gagasan An-Naim dipraktekkan di Indonesia, maka semua institusi yang berlabelkan Islam harus dihapus dan dibubarkan karena Islam tidak boleh di institusionalisasikan, termasuk MUI, KUA, bahkan Kementerian Agama.
Namun, terlepas dari berbagai kritikan itu, konsepsi An-Naim sebetulnya bisa dilihat sebagai pesan bahwa konsep negara bangsa akan terus mendapat ujian-ujian dari kelompok konservatif yang terobsesi mengambil alih sistem. Propaganda Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang saat ini masih terasa menjadi isyarat bahwa ini bukanlah sekedar ujian melainkan ancaman nyata. Dalam konteks Indonesia sebagai negara bangsa, kebebasan dan demokratisasi menjadi dua elemen krusial yang harus dikawal dari ancaman ideologi-ideologi trans-nasional seperti HTI. Pada situasi inilah An-Naim kemudian menawarkan konsep sekulerisme.
Sekulerisme ala An-Naim mungkin tidak bisa dipraktikkan dalam konteks NKRI. Namun paling tidak, kita bisa sarikan bahwa doktrin politis HTI sangat berbahaya bagi konsep negara bangsa karena pada akhirnya akan menuntun bangsa dari masyarakat pluralis menuju masyarakat homogen yang eksklusif. Sebuah situasi yang jauh dari nawacita masyarakat madani dalam konsep negara-negara bangsa.