Setidaknya dalam empat dasawarsa terakhir, ada euforia di kalangan Muslim sejagat tentang ‘kebangkitan peradaban Muslim’; atau bahkan ‘kebangkitan Islam’. Meski ada pencapaian- pencapaian tertentu yang membuat kalangan Muslim bisa optimis tentang ‘kebangkitan peradaban’ tersebut; tapi dalam segi-segi lain, cukup banyak pula gejala dan kecenderungan yang membuat pandangan tersebut boleh jadi lebih sekedar retorik daripada kenyataan.
Refleksi penulis kertas kerja ini tentang perkembangan peradaban Muslim pada masa kontemporer itu menguat setelah pernah mengikuti diskusi terbatas Institute for the Study of Muslim Civilization (ISMC), Aga Khan University, London, 29 Mei 2008. Memang belum ada evaluasi dan assessment yang komprehensif tentang kondisi peradaban Muslim dewasa ini; tetapi setidak-tidak sejumlah observasi telah dilakukan banyak kalangan, khususnya para ahli peradaban Muslim sendiri.
Secara demografis, jumlah kaum Muslimin meningkat secara signifikan pada tingkat internasional. Diperkirakan jumlahnya lebih dari 1,9 milyar jiwa (2022); berarti merupakan masyarakat agama kedua terbesar setelah Kristianitas (Katolik dan Protestan digabungkan). Dan peningkatan itu, terutama sebagai hasil dari pertumbuhan kelahiran, karena masih banyak kaum Muslimin yang tidak menjalankan keluarga berencana. Dengan jumlah yang terus meningkat itu, kaum Muslim pada dasarnya memiliki potensi yang kian besar pula; tidak hanya untuk membangun peradaban Muslim, tetapi juga pada peradaban dunia secara keseluruhan.
Tetapi potensi itu belum bisa diwujudkan. Jumlah penduduk Muslim yang begitu besar belum dapat menjadi aset, tetapi sering lebih merupakan liabilities. Hal ini tidak lain, karena kebanyakan penduduk Muslim tinggal di negara-negara kerkembang; atau bahkan di negara-negara terkebelakang, yang secara ekonomi menghadapi berbagai kesulitan berat seperti kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat seiring meningkatnya krisis enerji dan krisis pangan dunia.
Lebih daripada itu, dengan kondisi ekonomi, sosial dan politik yang tidak menentu, pendidikan di banyak kalangan kaum Muslimin bukan hanya tidak kompetitif vis-a-vis masyarakat lain, tetapi bahkan sering di bawah standar. Bukan hanya itu, banyak anak tidak mendapatkan pendidikan; terpaksa mengalami putus sekolah, yang akhirnya membuat mereka tidak punya masa depan untuk memajukan diri sendiri, apalagi peradaban Muslim dan peradaban dunia.
Memang ada negara-negara Muslim kaya berkat minyak, yang mendatangkan windfall terus menerus karena kenaikan BBM yang terus pula terjadi. Tetapi pada segi lain, windfall tersebut justru menambah beban negara-negara Muslim yang tidak atau kurang memiliki sumber alam BBM; sebaliknya mereka harus mensubsidi negara-negara kaya minyak tersebut. Dan windfall yang diperoleh negara-negara Muslim kaya minyak itu tidak mengalir ke negara-negara Muslim miskin dalam bentuk grant atau investasi; jika ada, jumlahnya tidak signifikan, boleh dikatakan hanya berupa tetesan (trickle) belaka.
Karena itulah negara-negara Muslim yang miskin atau tengah berkembang harus mengandalkan sumber-sumber lain; termasuk menambah hutangnya dari negara-negara atau lembaga-lembaga keuangan Barat seperti World Bank, IMF dan sebagainya. Keadaan ini tidak bisa lain hanya menambah ketergantungan pada pihak Barat, yang pada gilirannya memiliki implikasi ekonomis, politis, dan bahkan psikologis di kalangan umat Muslimin.
Salah satu dampak psikologis itu adalah menguatnya sikap mental konspiratif; bahwa para penguasa negara-negara Muslim berkolaborasi dengan pihak Barat, misalnya saja, untuk mengembangkan ekonomi pasar yang liberal di negara-negara Muslim dengan mengorbankan potensi-potensi ekonomi dalam masyarakat Muslim sendiri. Dampak lebih lanjut dari psikologi konspiratif ini dengan segera mengalir ke dalam kehidupan politik, dalam bentuk ketidakpercayaan pada rejim yang berkuasa, yang pada gilirannya mendorong berlangsungnya instabilitas politik terus menerus di banyak negara Muslim.
Psikologi konspiratif lebih jauh lagi membuat kalangan Muslim—khususnya sebagian ulama, pemikir dan aktivis Muslim—terperangkap ke dalam sikap defensif, apologetik dan reaksioner; terpenjara ke dalam enclosed mind atau captive mind, mentalitas tertutup yang penuh kecurigaan dan syak wasangka. Akibatnya kalangan Muslim seperti ini lebih asyik pula dalam masalah-masalah furu’iyyah, baik dalam bidang sosial, budaya, pemikiran dan keagamaan. Buahnya adalah keterjerambaban ke dalam tindakan dan aksi- aksi yang kurang produktif dalam upaya memajukan peradaban Muslim.
Karena itu, jika kita mau berbicara tentang kemajuan peradaban Muslim, sudah waktunya kaum Muslimin membebaskan diri dari psikologi konspiratif dan enclosed mind. Pada saat yang sama lebih menumbuhkan orientasi ke depan daripada romantisme tentang kejayaan peradaban Muslim di masa silam. Tak kurang pentingnya, kaum Muslimin seyogyanya lebih mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya kreatif dan produktif daripada terus dikuasai sikap defensif, apologetik, dan reaksioner yang sering eksesif.
PRASYARAT KEBANGKITAN
Kembali pada hal ‘kebangkitan peradaban Islam’, apakah kebangkitan China dan India juga bakal mengimbas dan mendorong kebangkitan peradaban Islam yang juga berporos di Asia Tenggara dengan Indonesia dan Malaysia sebagai motornya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu berbicara tentang beberapa prasyarat bagi kebangkitan peradaban yang kontributif bagi peradaban dunia secara keseluruhan.