Kedua, merasa tidak berdaya, lemah, kecewa dan tidak mampu. Ketiga, kepercayaan akan adanya konspirasi kosmis melawan agama, sekte, atau aliran yang dianut oleh para pemilik keyakinan tersebut, dan karena itu mereka melihat campur tangan Tuhan sebagai kemenangan bagi mereka.
Penggambaran bencana alam dan pandemi yang sama sebagai cobaan dan ujian ketika negara-negara Muslim juga terdampak, sesungguhnya itu menunjukkan upaya yang gagal untuk keluar dari kesulitan. Karena ketidakmampuan menjelaskan alasan terjadinya, banyak orang yang tidak ragu-ragu untuk merujuk ke murka Allah.
Jika bukan karena fakta bahwa cobaan atau ujian adalah konsep agama yang diatur di dalam al-Qur`an dan warisan Islam, dan umat Muslim tidak mungkin menolaknya, tentu tidak akan ada seorang pun yang mempercayai gagasan pembalasan Tuhan melalui bencana dan penyakit.
Siapa yang percaya, misalnya, jika seorang polisi lalu lintas menjatuhkan hukuman yang sama kepada dua orang, orang pertama melakukan pelanggaran lalu lintas dan orang kedua tidak melakukan pelanggaran apapun, untuk menguji sejauh mana kesabaran dan komitmen orang kedua terhadap undang-undang lalu lintas?
Umat Muslim saat ini termasuk di antara umat yang paling banyak menerima bantuan internasional karena tragedi, bencana, dan perang yang mereka alami. Kendati demikian, suara-suara kaum ekstremis yang memusuhi segala sesuatu yang bersifat kemanusiaan dan mempromosikan teori konspirasi masih saja terdengar.
Ya, sangat penting untuk mengimbangi narasi-narasi kaum ekstremis yang, melalui berbagai tulisan, khutbah dan fatwa mereka, telah berkontribusi mendistorsi dan memperburuk citra Islam dengan menggambarkannya sebagai agama yang memusuhi semua manusia, serta mendukung mereka menikmati penderitaan orang lain alih-alih mencoba memberi mereka bantuan dan dukungan, bahkan secara moral, dengan berpartisipasi dalam kampanye solidaritas di media sosial.[]