“Maka saya sendiri misalnya saya sering katakan bahwa kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas Islam bahkan tidak mau ada politik berdasarkan identitas NU, jadi kami tidak mau nanti ada kompetitor kampanye ‘Pilih orang NU!’ misalnya kita ndak mau itu. Kalau mau bertarung ya harus dengan tawaran-tawaran yang rasional ini yang kami harapkan,” paparnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan hal senada. Dia menyebut dalam kontestasi politik kerap mengarah pada polarisasi.
“Ada dua trend ya yang kita lihat, pertama konsesi-konsesi politik lewat usaha-usaha koalisi itu bagus. Kemudian yang kedua bagus dalam arti itu bagian dari politik, kedua pernyataan-pernyataan yang kompetitif tetapi bisa mengarah pada polarisasi itu juga biasa terjadi. Tetapi ketika dua hal itu terus intens menjadi state of mind kontestasi para elit politik ini bisa apa tidak konstruktif gitu ya,” katanya.
Haedar mendorong visi kebangsaan yang sudah diletakkan para pendiri negara harus dielaborasi. Menurutnya, hal itu perlu dibawa ke ruang publik untuk menjadi diskusi antar para kontestan atau calon kontestan.
“Politik identitas itu kan tadi disebut Gus Yahya primordial ya, primordial itu agama, suku, ras, golongan yang dulu sering kita sebut SARA, dan karena menyandarkan lalu sering terjadi politisasi sentimen-sentimen atas nama agama suku ras golongan yang kemudian akhirnya membawa pada polarisasi bukan hanya secara inklusif bahkan di tubuh setiap komunitas, golongan itu bisa terjadi fiksi seperti yang disampaikan Gus Yahya. Saya pikir kita semua clear untuk mari kita berkontestasi mengedepankan politik yang objektif yang rasional yang ada di dalam koridor demokrasi modern,” pungkasnya.