Konflik – bahkan perang –Israel-Palestina bukan baru saja terjadi. Konflik itu telah terjadi lebih dari 100 tahun yang lalu. Penyebabnya tidak tunggal, mulai dari agama, ekonomi, kesejarahan, dan berbagai faktor lainnya. Konflik itu menyeruak luas seiring dengan kekalahan Turki Ottoman melawan Inggris di awal abad ke-20 dalam perang dunia I, di mana wilayah Palestina diambil alih oleh Inggris. Pada 1917,
Deklarasi Balfour mendukung pendirian rumah nasional Yahudi di Palestina, sehingga bangsa Yahudi di berbagai penjuru dunia kembali ke Palestina, yang diyakini oleh bangsa Yahudi sebagai “tanah yang dijanjikan Tuhan” kepadanya dengan merujuk kepada Kitab Kejadian (Genesis). Disebutkan bahwa “Aku (Tuhan) akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau (Musa) serta keturunanmu turun temurun menjadi perjanjian yang kekal…. Akan Kuberikan negeri ini yang kau diami sebagai orang asing, yakni seluruh Tanah Kanaan akan kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya.
Namun demikian, melihat konflik di tanah Palestina semata-mata karena faktor adalah kesalahan yang fatal dan membawa pada kesalahan respons dan sikap terhadapnya. Karena anggapan sebagai konflik yang hanya berbasis agama, maka tidak heran sentimen keagamaan meluas. Umat Islam menganggap bahwa antar sesama umat Islam seperti satu jasad, sehingga ketika ada umat Islam yang terganggu atau dalam ancaman maka akan muncul dukungan, mulai dari empati, logistik bahkan bala tantara.
Kitab-kitab fikih yang dikonsumsi oleh umat Islam Indonesia—terutama kalangan santri—memberikan justifikasi untuk mengirimkan tantara ke Palestina, sebagai negara Islam. Dalam kitab fikih disebutkan kewajiban setiap muslim untuk berjihad setiap tahunnya, termasuk mengirimkan para mujahid ke negara-negara Islam.