Yang sering kali dilupakan adalah bahwa fikih yang tersedia dalam kitab kuning tersebut ditulis 700-800 tahun yang lalu, di mana sistem kekhalifaan Islam begitu sangat dominan. Dalam model peradaban lama itu, negara yang kuat “diperkenankan” menjajah wilayah-wilayah yang lemah. Karenanya, Islam melakukan ekspansi seluas-luasnya. Cek saja, wilayah kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang membentang melewati berbagai negara, yang kesemuanya tunduk kepada khalifah.
Kini, sejak runtuhnya Turki Ottoman, kedaulatan dan batas negara itu harus dijunjung tinggi oleh setiap bangsa. Negara kecil tidak bisa semena-mena dijajah oleh negara yang kuat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Dewan Keamanannya akan turut serta menjaga ketertiban dunia. Tentu saja, hal-hal idealis itu tak sepenuhnya dijalankan oleh PBB, terutama ketika melihat peristiwa konflik Palestina.
Singkatnya, jika kita memandang konflik Palestina sebagai konflik agama: Muslim melawan Kafir, sehingga dipandang perlu untuk berjihad ke sana maka ini bukan solusi yang jitu. Jangan kerdilkan konflik Palestina hanya sebagai konflik agama.
Untuk mengatasi meluasnya pandangan tersebut, maka umat Islam sebenarnya membutuhkan format fikih baru, yang lebih relevan dengan konteks peradaban saat ini. Inilah yang digagas oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melalui Fikih Peradaban. Semoga membuahkan hasil. [Hatim Gazali]