Diakui atau tidak, salah satu dari sekian banyak aliran keagamaan dalam Islam yang cukup santer dan gencar mengkampanyekan doktrin dan ajarannya kepada masyarakat Islam, adalah Wahabisme. Tidak hanya di kawasan Timur Tengah (Arab Saudi) tempat lahirnya dan wilayah sekitar, melainkan juga merambah ke pelbagai penjuru negeri lain. Ditopang dengan dana kampanye yang memadai, Wahabisme mulai tumbuh dan berkembang di negara-negara kawasan Asia Tenggara tak terkecuali di Indonesia.
Di Indonesia sendiri misalnya, banyak kita temui para pendakwah atau penceramah berpaham Wahabisme yang masih berseliweran sampai kiwari. Baik di pelbagai media: Televisi, Youtube, Facebook, maupun lainnya. Di antara pendakwah tersebut, Firanda Andirja Abidin, Abdul Hakim Abdat, Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, dan sebagainya. Ini menjadi bukti bahwa gerakan Wahabisme kian masif menyebarkan ideologinya di negeri kita.
Walau begitu, keberadaan Wahabisme menuai pro-kontra di tengah masyarakat Islam tidak terkecuali para ulama. Ada yang setuju, akan tetapi tidak sedikit pula umat Islam yang mengajukan keberatan terhadap doktrin dan fatwa para ulama Wahabi. Bahkan, penolakan tidak sekadar pada tataran doktrin Wahabisme, melainkan juga pada cara orang Wahabi dalam menyebarkan ideologinya.
Lantas mengapa paham Wahabi atau Wahabisme ditolak? Bukankah mereka juga mengikuti ajaran Nabi Muhammad seperti kebanyakan umat Islam pada umumnya? Memang, secara paham keagamaan mereka mengikuti Nabi. Alih-alih mengamalkan dan mengikuti ajaran Islam, justru dalam praktiknya kerap bertentangan dan tak jarang mencederai Islam itu sendiri. Sebab, dakwah yang dilakukan acap bernuansa kekerasan dan memaksakan kehendak. Jika tidak sepaham dengan mereka, maka layak bahkan wajib untuk diperangi.
Lihatlah betapa sejarah telah menunjukkan sejumlah keonaran yang dilakukan orang-orang Wahabi, dari awal kelahirannya hingga sekarang. Mereka tak sekadar mengobrak-abrik orang-orang Syiah, melainkan juga para pengikut Sunni yang tengah dianggap menyimpang dari ajaran Islam atau yang dipandang telah terperangkap ke dalam jurang kemusyrikan.
Mengutip pendapat Abdul Moqsith Ghazali dalam tulisannya bertajuk Kritik atas Wahabisme menyatakan, terdapat beberapa alasan mengapa sejumlah orang mengkritik bahkan menolak Wahabisme. Pertama, dalam mendakwahkan doktrinnya, orang-orang Wahabi terlalu banyak menyerang ke dalam, ke sesama umat Islam. Terhadap orang-orang Islam non-Wahabi, mereka bersikap tegas (asyidda’u alal muslimin). Tak puas dengan jenis atau corak keislaman yang berkembang di lingkungan umat Islam non-Wahabi, mereka berupaya untuk mengislamkan kembali orang-orang Islam. Menurut mereka, orang Islam non-Wahabi telah terjatuh ke dalam jurang kemusyrikan sehingga perlu segera diselamatkan.
Untuk memperkuat argumennya, mereka kemudian menyitir ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana umat Islam pada umumnya, orang-orang Wahabi memandang dosa syirik sebagai dosa tak terampuni. Allah berfirman, inna Allah la yaghfiru an yusyraka bihi wa yaghfiru ma duna dzalika liman yasya’u [sesungguhnya Allah tak akan mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya dan hanya mengampuni dosa selain syirik].
Kebanyakan umat Islam menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk memusyrikkan orang-orang yang menyembah patung-berhala. Berbeda dengan orang Wahabi, ia justru menjadikan ayat ini sebagai argumen untuk memusyrikkan umat Islam sendiri yang gemar bertawassul dan ziarah kubur. Dan karena orang Islam non-Wahabi telah musyrik, maka orang Wahabi merasa berkewajiban untuk mengembalikan mereka ke dalam doktrin ajaran Islam seperti yang mereka pahami.
Sebaliknya, jika umat Islam non-Wahabi tidak segera bertobat atau moh diajak kembali kepada “ajaran Islam yang benar” (dengan meninggalkan bertawassul dan ziarah kubur), maka mereka (orang-orang Wahabi) tak ragu untuk melenyapkan nyawa orang Islam non-Wahabi. Itulah sebabnya, kebanyakan dari orang Wahabi acapkali terlibat dalam tindak kekerasan dengan cara menyerang orang Islam lain.