Imam Al Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulum ad-Din, menyampaikan:
ويجب أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات تشهد لهذه المنكرات“
“Wajib untuk menempatkan penghalang antara laki-laki dan perempuan yang dapat mencegah pandangan, sebab hal tersebut merupakan dugaan kuat (madzinnah) terjadinya kerusakan dan norma umum masyarakat memandang ini sebagai bentuk kemungkaran.” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, juz 3, hal. 361)
Sementara itu, Al Mawardi dalam kitabnya berjudul al-Hawi al-Kabir mengatakan:
“Ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang bersamaan dengan imam dalam shalat maka imam menetap (di tempatnya) sejenak agar jamaah perempuan bubar terlebih dahulu. Ketika jamaah perempuan sudah bubar maka imam berdiri (untuk bubar). Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan. (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz 23, hal. 497)
Rincian hukum tersebut juga dijelaskan secara tegas dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah. Mazhab Hanafiyah menegaskan, sejajarnya posisi perempuan dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak atau membatalkan salatnya laki-laki.
Imam Az-Zayla’i al-Hanafi juga berpendapat seperti berikut ini:
“Jika perempuan yang (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan lelaki dalam shalat mutlak yakni salat yang terdapat rukun ruku’ dan sujud, dan keduanya bersekutu dalam hal keharaman dan melaksanakan salat di satu tempat yang tidak ada penghalangnya, lalu imam niat mengimami perempuan tersebut pada saat melaksanakan shalat, maka salat lelaki tersebut batal, tapi tidak batal bagi perempuan.”
Dasarnya ialah hadits “Kalian akhirkan mereka (perempuan) seperti halnya Allah mengakhirkan mereka.” Lelaki pada hadits tersebut merupakan objek yang terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab), bukan para wanita. Dengan demikian, maka lelaki tersebut dianggap meninggalkan kewajiban menegakkan tuntutan tersebut hingga shalatnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi salat para perempuan.
Sedangkan mayoritas ulama fiqih (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengatakan, sejajarnya shaf perempuan dengan laki-laki tidak sampai membatalkan salat, hanya saja hal tersebut makruh.
“Jika perempuan berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal salat orang yang ada di sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal salat yang dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (perempuan) berdiri pada selain salat. Perintah dalam hadits untuk mengakhirkan shaf (perempuan) tidak menetapkan batalnya salat ketika tidak melakukannya.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, juz 6, hal. 21).